Skip to main content

“Republik Cukong”

By November 8, 20094 Comments

Bebasnya Anggodo benar-benar mengusik rasa keadilan. Alasan Mabes Polri melepaskan Anggodo jelas membuktikan bahwa polisi seperti tak punya taring dalam menghadapi cukong seperti Anggodo itu.

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna mengatakan belum cukup bukti untuk meneetapkan status Anggodo menjadi tersangka. Walaupun bukti rekaman yang menunjukkan Anggodo sebagai dalang rekayasa kriminalisasi Bibit dan Chandra sudah dibeberkan ke public. Tetap menurut polisi belum ada bukti cukup memproses Anggodo.

Anggodo akhirnya dilepas. Tim 8 kecewa. Tapi rakyat lebih kecewa lagi. Bahkan bisa dikatakan kini rakyat marah. Jika sehari sebelumnya rakyat kaget mendengar isi rekaman sadapan KPK yang memperdengarkan seorang cukong seenaknya mengatur aparat negara. Kini rakyat marah karena polisi tampak begitu takutnya dengan orang seperti Anggodo. Bayangkan, hukum negara ini takluk pada seorang cukong yang jelas-jelas sudah melanggar hukum. Ini bukan seperti polisi yang gagah berani menembak mati teroris. Ini juga bukan seperti polisi yang dengan ganasnya menggebuki waria yang dituduh mencuri handphone. Menghadapi Anggodo Polisi tiba tiba impoten.

Apa yang dilakukan Anggodo di Mabes Polri bak anak-anak bermain petak umpet. Anggodo sembunyi di rumah temannya sampai permainan selesai. Begitu permainan selesai, Anggodo lenggang kangkung pulang meninggalkan Mabes Polri.

Hebatnya pengaruh cukong seperti Anggodo ini bukan hanya terjadi sekali di Indonesia . 6 tahun lalu majalah Tempo juga merasakan betapa ngerinya pengaruh seorang cukong di jajaran kepolisian. Berita “Ada Tomy Di Tenabang” berbuntut dengan diserbunya kantor majalah Tempo oleh anak buah Tomy Winata.

Kepolisian Jakarta Pusat tampak tak berdaya menghadapi aksi poremanisme itu. Padahal kalau orang biasa yang meakukan aksi vandal seperti itu polisi pasti langsung bertindak.

Kiprah cukong di Indonesia memang bukan berita baru. Hubungan mereka dengan
penguasa negeri itu ibarat magnet dengan besi. Cukong-cukong itu akan menempel ketat penguasa. Dahulu pada awal orde baru ada Liem Sioe Liong yang dekat dengan Soeharto. Bukan hanya Liem, beberapa taipan juga menempel ketat penguasa orde baru itu.Hasilnya, entah sudah berapa ratus atau mungkin berapa ribu regulasi yang dibuat pada zaman orde baru untuk menyenangkan para cukong itu. Buktinya, selama 32 tahun Soeharto berkuasa jutaan rumah digusur untuk dengan dalih kepentingan pembangunan dan ribuan hektare hutan digunduli untuk berbagai kepentingan bisnis.

Pasca Soeharto lengser, kekuatan cukong luput dari pembenahan. Cukong cukong
terus merajalela. Buktinya, dengan dalih bisnis, di Riau, hutan lindung, hutan adat dibabat habis. Di Jakarta wilayah resapan air hujan disulap jadi rumah mewah. Bencana banjir tak dihiraukan demi menyenangkan si cukong.

Pemerintah ibarat hewan piaraannya si cukong. Begitu dikepret duit, para pejabat pemerintah itu langsung bak anjing greyhound yang hendak menerkam kelinci. Geram saya melihat tingkah laku pejabat ini. Karena mereka adalah orang tolol yang tak menyadari ketololannya. Celakanya akibat ketololannya itu rakyat sengsara.

Seorang rekan wartawan mengatakan kepada saya negara Indonesia telah dikuasai oleh pedagang dari salah satu etnis. Pendapat ini terkesan rasis. Tapi bagi saya kaum cukong itu bukan hanya dari ras tertentu saja, tapi bisa dari semua ras. Yang jelas, para cukong ini punya kesamaan. Menempel kepada pejabat untuk mencari keuntungan. Keuntungan yang dimaksud adalah agar bisa mengambil jalan pintas demi kepentingan bisnis , seperti memotong jalur birokrasi serta agar bisa mengembangkan bisnis di area terlarang. Tentunya jalan pintas dan lobi-lobi ini menyertakan uang pelicin.

Kehadiran KPK tentu tak disenangi para cukong. Mereka merasa upaya melobi para pejabat jadi terhambat karena keberadaan KPK. PAsalnya keberadaan KPK konon diartikan para cukong berarti ada satu pintu lagi yang harus dilobi.

Ada uang yang harus keluar lagi, dan celakanya KPK tak seperti polisi dan jaksa yang bisa dikepret dengan duit. Blingsatanlah para cukong. Buktinya, kakak adik Anggoro dan Anggodo harus bela-belain mengeluarkan uang Rp. 7 Milyar untuk membuat sandiwara penahanan dua pimpinan KPK Bibit dan Chandra.

Bibit dan Chandra sudah ditangguhkan penahanannya. Tapi Anggodo bebas, Anggoro masih di Singapura. Boro-boro masuk sel, dua kakak beradik ini masih bisa menghirup udara bebas. Tak seperti maling ayam yang masuk tahanan dan digebuki sampai nyonyor. Presiden juga tampak cuek bebek melihat kasus Anggoro-Anggodo ini. Padahal dengan wewenangnya dia bisa memerintahkan kapolri untuk menindak Anggodo karena bukti rekaman itu jelas-jelas mencatut nama SBY sebagai presiden. Berkali-kali nama presiden disebut direkaman itu. Kalau itu memang fitnah, presiden harus marah dan menggunakan wewewnangnya. Tapi, fakta menjelaskan Anggodo bebas.

Jangan-jangan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga takluk kalau berhadapan dengan cukong. Jangan-jangan ada kartu truf presiden yang dipegang Anggodo sang cukong. Begitu hebatkah pengaruh cukong pada pemerintahan SBY-Boediono?.Sehingga dia bisa seenaknya mencatut nama pak presiden dan kemudian hanya meminta maaf saja. bahkan tak ditahan atas perebuatan pidana yang dia buat. Coba kalau orang biasa yang berbuat seperti Anggodo, saya yakin pasti orang itu akan ditindak.

Saya khawatir ini ada hubungannya dengan program pemerintah yang ingin meminimalisasi hambatan ekonomi. Jangan-jangan peran kekuasaan para cukong di pemerintahan kini semakin diperluas. Pasalnya pemerintah dan DPR punya niat ingin mengebiri KPK. Karena belakangan KPK disebut-sebut penghambat pelaksanaan berbagai proyek pembangunan .

Waaah.., jadinya saya mulai menduga-duga tuh pak Soes?. Begini deh pak, Kalau tak mau negara ini disebut sebagai Republik Cukong, tangkap dan adili Anggodo. Kita akhiri supremasi para cukong ini dan tegakkan hukum. Hukum yang sebenar-benarnya. Bukan hukum para cukong. ((ezki Hasibuan, Jurnalis KBR68H, dicopy-paste dari milis jurnalisme)