Kami memulai segala sesuatu dari nol. Semua atribut sektarian dan etnik kami hilangkan agar anak2 tumbuh dengan identitas baru.
Mereka bahkan baru sadar menanggung takdir minoritas etnis dan mazhab setelah dibully teman2 sekolah dan komplek.
Nama yang kusandangkan pada mereka juga netral, kombinasi kebuli dan pecel.
Mereka, termasuk bunda mereka, memanggilku Yanda, sebutan baru yang mungkin bisa dipatenkan.
Tak ada simbol-simbol khas primordial dalam rumah. Semuanya dipersiapkan untuk menyongsong masadepan yang lebih modern dan beradab.
Betapapun stigma minoritas sulit dihilangkan, kami bangga mengaku Muslim toleran dan bangga mengaku warga Indonesia.
Baca juga: