Skip to main content

Ya Allah, aku menggigil diterpa angin malam saat jalanan mulai tampak sepi. Sesekali kulihat orang yang senasib denganku, tampak bersandar lunglai di tepi trotoar seberang sana. Separtinya dia bernasib lebih baik dariku karena kulihat kardus alas tidurnya masih lebih utuh dari milikku. Bajunya pun tampak belum seberapa lusuh, utuh tanpa sobekan, beda dengan baju compang-camping yang sudah entah berapa lama melekat di tubuhku. Maklumlah, dia memang tergolong ‘pendatang baru’ yang sejak tiga hari lalu mulai bergabung dengan komunitasku.

Ya Allah, meski esok hari kota ini akan kembali bising seperti biasa, dan akan membuatku terasingkan di tengah hiruk-pikuk orang yang lalu-lalang, melenggang tenang tanpa memandangku, namun aku lebih menyukainya daripada malam-malam panjang yang sepinya terasa menyiksaku, anginnya menusuk pori-poriku. Belum lagi mimpi-mimpi suramnya yang memaksa datang tanpa kuundang. Lintasan bayangan tentang kampung halaman, tentang wajah layu dan mata sembab istriku yang memaksa pergi jauh dariku. Karena dia merasa tak ingin menjadi bagian penambah bebanku?

Ya Allah, aku yakin saat ini Engkau sedang memperhatikanku, menunggu sejauh mana aku merawat ketabahanku. Maafkan aku yang terkadang tak mampu menyembah-Mu dengan cara sepantasnya sebagaimana orang-orang lain menyembah-Mu, karena untuk buang air saja aku tak mampu membayar. Bagaimana mungkin aku duduk-duduk di dekat orang-orang yang bersih, wangi, dan terlihat ‘suci’ itu? Dengan tubuh dekil berkeringat tak sedap, mana mungkin mereka mau berbaris satu shaf denganku di masjid-Mu?

Ya Allah, kumanfaatkan waktu yang sepi ini untuk berbincang dengan-Mu, tapi maafkan bila bahasaku tak seindah para mubalig dan ustad-ustad di TV. Mungkin aku belum dapat menangis, karena untuk sekedar meneteskan air mata, aku perlu tenaga. Sementara tubuhku sudah beberapa hari ini belum juga menemukan pengobat rasa laparnya.

Ya Allah, maafkan aku bila di hati ini seringkali menyeruak kebencian terhadap orang-orang, terkadang rasa dengki pun menghampiri jiwaku. Ditambah lagi prasangka buruk terhadap orang yang selalu memandangku dengan tatapan merendahkan. Kuharap Engkau sudi memaafkanku karena deretan dosa-dosa itu.

Ya Allah, aku tidak merasa perlu untuk membuat daftar permintaan, karena permintaanku tak terlalu banyak. Apalagi, toh Engkau pun sudah tahu. Kepada-Mu aku hanya ingin meminta.Ya Allah. Jangan kiranya Kau jadikan aku sebagai pengemis pula di akhirat nanti. Karena kuyakin Engkau akan meminta pertanggungjawaban hamba-Mu sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimilikinya. Aku tahu tidak Engkau jadikan aku miskin karena kehendak-Mu, tapi aku harus menjadi miskin karena tak mungkin dunia hanya dihuni oleh orang-orang kaya. Tanpa aku yang miskin, mana mungkin akan berguna sebutan bagi si kaya? Itulah sebabnya kuambil porsi itu.

Ya Allah, kau larang manusia meminta kepada selain-Mu, tapi ketika kutengadahkan tangan di pinggir jalan, tak kuanggap pelempar rupiah ke arahku adalah pemberi hakiki, tapi kuyakini bahwa pastilah tangan mereka digerakkan oleh kekuatan-Mu. Aku tak punya keahlian memetik-metik gitar untuk menyanyikan lagu-lagu merdu bak pengamen jalanan, atau bakat penyair untuk membaca puisi dengan gaya seru. Itulah mengapa aku tak mengikuti jejak pengamen keplok bersuara syahdu, tidak pula mengekor penyair amatir yang melantunkan puisi dengan wajah sendu.Ya Allah, aku tetaplah seorang lelaki biasa yang tersiksa rindu. Tapi tak kusalahkan istriku yang telah pergi jauh entah kemana. Andai dia hidup bersamaku, mana mungkin kubiarkan dia tidur di kolong jembatan layang, di dekat trotoar beraroma kencing gelandangan dan anak-anak jalanan?

Ya Allah, aku yakin Kau ciptakan aku bukan cuma sebagai beban penambah sibuk para petugas sensus, melainkan pengingat bagi orang-orang tamak pemangsa hak. Aku yakin Kau jadikan aku pengemis agar kutempuh jalan Ayyub, agar ada orang-orang yang mendapatkan pahala sedekah, kepedulian, perhatian dan rasa iba. Kuposisikan diriku disitu?Ya Allah, aku tak perlu menggambarkan betapa dramatis dan berlikunya jalan kehidupanku, betapa pilu dan meremukkan hati warna deritaku, karena kuyakin penglihatan-Mu pastilah tak dapat dibandingkan dengan tajamnya kamera CCTV.

Ya Allah, aku tak tahu pasti, apakah besok aku kan masih hidup dan bertemu matahari pagi. Bila tiba waktuku bertemu dengan-Mu, sebagaimana aku bangga memiliki pemimpin seperti Ali, gabungkan pula aku dengan Abu Dzar, Ammar, Miqdad, seperti bergabungnya para budak dan pahlawan tanpa nama dalam kafilah Al Husain.

Ya Allah, malam ini, takbir bergema dan membisingkan angkasamu, namun angkasa batinku lebih sunyi dari hari-hari kemarin. Hiburlah kami dengan elusan kasih dan pendar cahayaMu agar esok kami kuasa untuk berdiri dan menjadi penonton kegembiraan orang-orang yang tidak senasib dengan kami.

Ya Allah, meski tak mengenakan busana baru dan bersih, kami masih ingin punya hati yang bersih dengan ketakwaan kepadaMu. Kepada siapa, kami mesti mengucapkan Minal aidin wal faizin?