Menyambut Tahun Tikus Tanah, mari kita mulai hormati makhluk yang rada menijikkan ini, terutama para pemilik shio tikus.
Kalau cuma menemukan satu bangkai tikus segar dengan tubuh teredel-edel (terkoyak) dan darah segar yang menyembur di tengah jalan, itu saya anggap pagi yang lumayan menyenangkan.
Setiap kali melintasi jalan menuju kantor, banyak warga yang seenaknya melemparkan hasil buruannya itu ke jalan agar ditipiskan oleh ban motor dan mobil lalu kering oleh sengatan matahari.
Pelemparnya nampakanya tahu efek buruk bagi kesehatan dan lingkungan dari aksi itu, namun mungkin ada beberapa alas an lain, menurut saya. Pertama, pelempar bangkai tikus berharap para pengemudi mobil dan motor sedikit terganggu sehingga tidak melintasi jalan. Kedua, ini adalah hobi. Sambil melihat bangkai tikus itu tergeletak lalu tergencet oleh ban mobil, sang pemburu merasa merasa terpuaskan secara psikologis. Ketiga, ini memburu tikus yang jumlahnya sangat banyak di Jakarta, karena prilaku jorok warganya, adalah sebuah ritual rutin setiap malam di kampung.
Padahal tikus juga makhluk Tuhan yang diciptakan untuk hidup. Kalau pun keberadaanya mengganggu, maka ia berhak untuk diperlakukan secara wajar, misalnya dikubur dengan kedalaman tertentu agar tidak mengganggu kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Pada saat hujan turun, aroma busuk bangkai-bangkai tikus ini akan menghampiri hidung setiap orang yang melintas dengan segenap kuman dan bakteri yang parkir di tubuhnya.
Rupanya kini individualisme telah menjadi gaya hidup