ROMANTISME DAN ANTROPOTEOSITAS MUHAMMAD

ROMANTISME DAN ANTROPOTEOSITAS MUHAMMAD
Photo by Unsplash.com

Di tengah keprihatinan akibat pandemi yang belum juga berakhir, rakyat medsos berpolemik dan bervilaria tentang sebuah lagu yang konon melukiskan romantisme Nabi Muhammad SAW.

Bila romantisme diartikan sebagai kecenderungan sentimentil seseorang yang menampilkan prilaku irrasional akibat kebergantungan kepada sesuatu yang sensual, maka ia bersifat profan, sesnsual dan fisikal. Romantisme adalah prilaku profan yang bertentangan dengan kesucian dan kekudusan.

Muhammad adalah antroposteosis. Ia adalah entitas immanen yang menyejarah sebagai manusia sekaligus transenden sebagai manifestasi eksternal nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.

Muhammad SAW adalah manusia sempurna yang merupakan cahaya kedua yang bersih dari prilaku yang bertentangan dengan citra kesucian.

Terlepas dari viralitas dan polemik seputar otensitas prilaku Nabi di hadapan isterinya, dalam kesadaran mistikal yang berbasis aksioma filsafat, Muhammad bukan hanya sebuah entitas personal yang pernah hadir dalam sebuah etape masa, namun ia adalah entitas impersonal yang eksistensial.

Kedudukan Jesus yang begitu tinggi dalam teologi Kristiani mengungkap makna antropotesitas ini dalam pandangan sebagian umat Islam. Karena itu, ada harmoni lintas agama dalam pemaknaan tentang hakikat Tuhan dalam emanasi, iluminasi dan gradasi.

Sayangnya, karena piciknya pemahaman tentang eksistensi sebagai akibat penyanderaan filsafat dan mistisisme filosofis, sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut dan pencintanya justru mereduksi realitasnya.

Pandangan antropoteologi ini terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh teks, karya roman, lirik lagu picisan dan folklor yang ditulis oleh homo sapiens bertendensi kekuasaan profan dan ego pemuja benda, lendir, kulit dan raga.

Muhammad, Jesus dan para jejiwa suci dihadirkan sebagai prototipe dan model substansi humanitas yang tak lain adalah divinitas itu sendiri untuk ditiru dan diteladani, bukan diturunkan dan diimaginasikan sesuai standar estetika fisikal dalam temporalitas dan mortalitas.

Ilustrasi prilaku seseorang yang tak sepadan dengan kedudukan realnya adalah dusta yang menafikan penghormatan. Dengan kata lain, lebih baik menghormatinya tapi tak mengklaim mengikutinya daripada mengklaim mengikutinya tapi tak menghormatinya.

Ini bukan soal mazhab, bukan pula soal polemik seputar sebuah info sejarah, tapi soal kesadaran eksistensi.

Read more