Rusia: Bangunnya sang Beruang

Rusia: Bangunnya sang Beruang
Photo by Unsplash.com

putin2.jpg

Rusia makin memperlihatkan kebijakan tegas dan mandiri untuk menyikapi unipolaritas Amerika Serikat

Dunia satu kutub (unipolar) mulai menyurut seiring tampilnya kekuatan-kekuatan penyeimbang baru. Keadidayaan tunggal Amerika Serikat sejak keruntuhan Uni Soviet perlahan digerogoti oleh Rusia dan Cina di tingkat global, serta Venezuela dan Iran di tingkat regional. Selamat datang semesta beragam kutub (multipolar).

Kemelut AS di Irak boleh jadi merupakan salah satu sumbangan besar. Petualangan militer dengan ambisi kemaharajaan kerap berbalik menghantam dan menggugurkan negeri itu sendiri sebagaimana banyak kekuatan besar sebelumnya. Penggunaan dalih moralitas dan demokrasi justru malah menohok AS sendiri tatkala terjadi pelanggaran hak asasi manusia di Guantanamo, kesewenangan di Afghanistan dan Irak, atau standar ganda yang diterapkan terhadap Israel. Keterpurukan AS akibat makin melebarnya kesenjangan antara idealisme dan realita ditambah peranannya yang diangankan sebesar keangkuhannya, makin membuka bagi kemunculan dan kebangkitan perlawanan.

Di samping itu, beberapa negara seperti Cina, Rusia, India, Venezuela, dan Iran makin memperkuat diri sehingga makin mempertegas polarisasi dan terjadinya transformasi dari unipolaritas ke multipolaritas.

Kami Kini Besar dan Kaya

Salah satu negeri yang makin menunjukkan kuku tajamnya adalah si beruang Rusia. Keterpurukan ekonomi pasca-Soviet kini sudah berada di belakang mereka. Dengan efektif industri energi dirasionalisasi dan dikelola oleh BUMN yang dijadikan ujung tombak perbaikan ekonomi. Pada tahun ini, sekitar delapan tahun sesudah perkembangan ekonomi memadai, pendapatan domestik bruto Rusia sudah kembali ke tingkat tahun 1990. Rusia tak lagi menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF), di ambang keanggotaan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan siap bergabung dengan kelompok elite negara ekonomi terdepan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Sejak 2005 Rusia mengalahkan AS menjadi produser minyak terbesar kedua sesudah Arab Saudi. Pendapatan dari industri minyak mereka mencapai 679 juta dolar sehari. Banyak negara Eropa Barat bergantung pada minyak Rusia seperti hampir semua Eropa Barat tergantung pada gas Rusia. Rusia merupakan pro-duser gas terbesar di dunia yang menyumbang pada cadangan devisa sebesar 315 miliar dolar, naik dari sekitar 12 miliar pada 1999.

Seiring dengan membesarnya otot ekonomi Rusia, AS tak bisa sekadar berpangku tangan. Washington mesti menjegal si beruang bangun dari tidur. Salah satu cara adalah dengan menjadikan Polandia dan Cek ranah eksperimentasi melalui penempatan sistem pertahanan rudal yang jelas-jelas diarahkan ke Moskwa. Gedung Putih memegang erat diktum Thomas Friedman: tangan tersembunyi ekonomi mesti disokong dengan kepalan militerisme. Moskwa pun meregang otot militer lawasnya untuk balas menggertak. Jam sejarah kini seakan diputar balik ke arah era Perang Dingin. “Kami kini besar dan kaya”, jawab Putin enteng ketika dimintai komentar tentang kekhawatiran Barat terhadap Rusia.

Romantisisme Kejayaan

Rusia bukan lagi beruang yang hanya loyo di kebun binatang. Kini ia tampil kembali sebagai bangsa yang bangga dan berani. Berbeda dengan negara-negara Teluk yang berfoya-foya, Rusia berhasil menginvestasikan keuntungan hasil energinya ke arah yang menguntungkan negara untuk jangka panjang. Dari infrastruktur, teknologi, hingga militer. Keuntungan ini pun memberdayakan Rusia untuk mampu tampil sebagai kekuatan penyeimbang mumpuni terhadap AS seperti dahulu. Tentunya ada perbedaan mendasar antara Uni Soviet dan Rusia.

Stalin mempersatukan Soviet di bawah Partai Komunis, Gorbachev menampilkan sosialisme humanis, Yeltsin dengan anti-komunisme berapi-api, maka Putin justru mengembalikan semangat itu ke dalam bangsa Rusia sendiri. “Kita akan melindungi negeri dari musuh eksternal dan mewujudkan tatanan global baru menggantikan tatanan yang menghinakan Rusia pada 1990an,” tegas Putin.

Maka tenaga rakyat dikumpulkan di bawah panji besar nasionalisme. Dan Rusia pun bertumbukan dengan Barat dari masalah energi, militer, Kosovo, Ukraina, Asia Tengah, Timur Tengah, rudal, hingga tak ada tempat tersisa. Putin dipuja rakyatnya setelah membantah unipolaritas AS dan berhadap-hadapan dengan Barat di setiap kesempatan.

Moskwa mendukung Serbia sebagaimana Washington melindungi Israel. Rusia menggunakan senjata pipa energi untuk menundukkan Ukraina dan Belarusia yang membangkang terhadap Moskwa. Estonia dan Latvia diancam Rusia apabila merubuhkan tugu peringatan perang Perang Dunia II yang bagi kedua negara tersebut merupakan perlambang invasi ke negeri mereka.

Rusia tidak puas sekadar berkancah di regional, dan mulai merambah politik dunia. Maka dipancangkan bendera Rusia di Kutub Utara menegaskan Arktik sebagai miliknya. Moskwa tak segan mengancam Eropa Barat yang bergantung pada energi pasokan Rusia apabila bersikukuh dengan sistem pertahanan rudal yang dianggap sebagai ancaman. Kremlin aktifkan kembali pengintaian oleh pesawat-pesawat pembom ke negara-negara Barat yang telah dibekukan sejak 15 tahun terakhir. Rusia pun menguji coba kembali ketangguhan rudal-rudal antar benua mereka. Dan berupaya menghidupkan kembali pangkalan AL mereka di Tarsus, Suriah, untuk menegaskan keberadaan mereka di Timur Tengah.

Kompetisi dan pertarungan antara Abang Sam dan si Beruang yang mulai menajamkan kukunya lagi mencuat di Asia Tengah.

Berebut Asia Tengah

Asia Tengah bagi Rusia dan AS bak Garis Maginot yang membatasi daerah perang antara Jerman dan Perancis di masa Perang Dunia II. Kawasan ini menjadi penting bagi AS dan Rusia karena situasi geopolitik melainkan juga sebab Asia Tengah memiliki kekayaan sumber daya energi yang luar biasa. Konfrontasi dunia yang mulai didasarkan pada perebutan sumber energi menempatkan Asia Tengah sebagai kawasan yang bisa menjamin keberlangsungan suatu peradaban.

Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan merupakan kawasan yang menjadi pertaruhan bagi strategi global AS dan Rusia. Bagi Washington kelima negara ini penting karena posisinya di antara Rusia, Cina, Pakistan, India, Iran, dan Afghanistan. Keamanan AS di Timur Tengah bergantung pada keamanan di Asia Tengah. Kebutuhan energi AS juga menempatkan Asia Tengah sebagai kawasan bernilai strategis bagi kepentingan nasionalnya. AS mesti berhadapan dengan pemain lama di kawasan, Rusia, dan pesaing haus energi, Cina.

Secara struktural, Rusia sudah selangkah lebih maju daripada AS. Di Asia Tengah, Rusia membidani kelahiran dua organisasi regional: CSTO dan SCO. Organisasi Traktat Keamanan Bersama (CSTO) terdiri dari Rusia, Armenia, Belarusia, Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, dan Uzbekistan. Sejak 2002 mereka telah melakukan beberapa kali latihan militer bersama.

Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) didirikan untuk kerjasama keamanan dan ekonomi meliputi: Rusia, Cina, Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, dan Uzbekistan. SCO menempatkan India, Iran, Mongolia, dan Pakistan sebagai pengamat dengan tawaran untuk bergabung. SCO sebagai hasil aliansi Rusia dan Cina menempatkan Asia Tengah sebagai kawasan kurang ramah bagi Washington secara ekonomi maupun politik. SCO meminta penjadwalan penarikan pasukan AS dari kawasan mereka. Tentara Washington telah meninggalkan pangkalan di Uzbekistan dan digantikan Rusia. Sedang ketakpopuleran tentara AS di Kirgizstan hanya bisa dimaklumi setelah Gedung Putih membayar kenaikan sewa pangkalan militer sejumlah 150 juta dolar dan sesudah Rusia boleh membuka kembali pangkalan militernya di sana.

Dan SCO juga menunjukkan kemampuan militer mereka dengan menggelar latihan perang bersama. Bersandikan Misi Damai 2007 latihan ini melibatkan 4000 tentara, terbanyak dari Cina dan Rusia. Ini latihan kedua yang dilakukan setelah Misi Damai 2005 digelar bersama 10 ribu tentara. Rusia dan Cina bersama SCO seakan memberi pesan kepada AS: kami tak bisa dipandang sebelah mata.

Rusia makin membuat Washington susah dengan mengembangkan rencana membentuk SCO sebagai “Klub Energi”, yang jelas mengancam kepentingan energi AS di kawasan. Putin berhasil menyatukan Rusia dengan Kazakhstan, Turkmenistan, dan Uzbekistan dalam proyek jaringan pipa minyak dan gas. Direncanakan tuntas pada 2009, jejaring ini bakal mampu menyalurkan 30 miliar meter kubik gas setahunnya dan mempertahankan dominasi Rusia sebagai penyalur dan produser gas ke Eropa Barat.

Ini merupakan pukulan telak bagi Washington dengan rencana pemipaan di bawah Laut Kaspia yang bakal memastikan suplai gas ke Barat melalui Turkmenistan, Kazakhstan, Azerbaijan, Georgia, Turki, Afghanistan, dan Pakistan. Turkmenistan kini telah beralih ke pengaruh Rusia dan meninggalkan kebijakan “netralitas positif” sebelumnya. Sedang Kazakhstan tidak tertarik dengan proporsal AS yang diberikan di Gedung Putih untuk memperkuat jaringan pipa rancangan AS. Kazakhstan malah berkomitmen untuk menyuplai semua minyak dan gasnya ke Rusia sambil berminat bekerja sama dengan Moskow untuk memperluas pemipaan hingga ke Laut Hitam, dekat Bulgaria. AS lantas memperkuat pangkalan militer mereka di Bulgaria. Namun Asia Tengah sudah lepas dari Washington.

Putin berhasil memenangkan pertarungan karena mendahulukan kepentingan bersama yang pragmatis di antara negara Asia Tengah. Kremlin menyadari kepentingan ekonomi mereka mesti didahulukan selama kepentingan geopolitik Rusia secara keseluruhan tidak dirugikan. Washington mendekati Asia Tengah sebagai kompetitor Rusia dan reaktif terhadap kebijakannya. Gedung Putih terus menerus berusaha mengantisipasi Kremlin. Di saat sama pendekatan AS juga lebih mengarah pada zero-sum game tanpa kompromi sehingga makin menyulitkan Washington dalam kerjasama menyeluruh. Putin sebaliknya sangat tanggap terhadap kebutuhan keamanan dan stabilitas regional sehingga menghasilkan Rusia yang memiliki hubungan sehat dengan kawasan Asia Tengah. Indonesia bisa banyak belajar. (Majalah dwimingguan ADIL. KOLOM: Internasional EDISI : 24)

Read more