Skip to main content

Mau kaget? Silahkan baca celoteh terbelakang ini.

“Kalau misalnya atas dasar itu mereka minta dibubarkan, maka saya minta Republik Indonesia dibubarkan, atas dasar apa? Karena JI adalah rakyat Indonesia kan ya?”

Celoteh itu memuat dua premis utama. Pertama: menjadikan bubarnya NKRI sebagai syarat bubarnya MUI. Kedua: menganggap JI rakyat NKRI.

Kedua premis itu jelas-jelas punya konotasi serius dan bahaya yang sangat fundamental.

Konotasi Premis Pertama

  1. Memposisikan NKRI paralel dengan suatu organisasi yang dapat dibubarkan pemerintah selaku pemangku amanat negara dapat dan layak dipandang sebagai upaya melawan konstitusi dan hukum yang berlaku, serta mengancam NKRI.
  2. Mengerdilkan eksistensi NKRI sebagai suatu negara historis dan berdaulat sekadar konsekuensi atau akibat dari dibentuknya suatu perkumpulan pasca NKRI berdiri.
  3. Menggelembungkan nilai, status, dan urgensi perkumpulan cawe-cawe itu hingga sebangun dan seukuran dengan NKRI.
  4. Diam-diam menciptakan kesan palsu bahwa perkumpulan itu setara dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikafif, yaitu sebagai bagian dari struktur esensial negara yang mustahil dibubarkan.

Konotasi Premis Kedua

  1. Mengaburkan prinsip kewarganegaraan yang merupakan konsekuensi dari diterimanya asas Negara Pancasila dan UUD.
  2. Mengadvokasi sebuah organisasi terlarang yang mengganggu keamanan dan stabilitas negara serta mengancam ideologi negara melalui aksi teror dan pemberontakan bersenjata.
  3. Melecehkan pengorbanan dan jerih payah bangsa dan negara, khususnya pihak aparat keamanan dan penegak hukum, dengan memaksakan anggapan bahwa organisasi teroris yang merupakan musuh negara itu adalah warga negara.
  4. Memelintir opini umat dan bangsa dengan modus mengecilkan hingga menetralisir bahaya dan ancaman dari kelompok ekstremis terhadap eksistensi hingga ketertiban sosial, kendati telah terbukti bahwa kelompok dimaksud telah melakukan aneka teror dan aksi bersenjata yang menyasar institusi ketertiban dan keamanan serta ikut mencabut nyawa sejumlah warga sipil.

Kesimpulan:

  1. Celoteh ngawur pembubaran Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai reaksi atas tuntutan masif pembubaran suatu perkumpulan akibat rentan diinfiltrasi oleh anasir radikal hingga teroris berkedok agama yang anti Pancasila dan NKRI, sepenuhnya bertendensi makar.
  2. Celoteh serampangan yang menyesatkan publik tentang JI dapat dianggap sebagai kampanye pro-terorisme hingga pelecehan terhadap rakyat Indonesia sekaligus pencemaran nama baik institusi penegak hukum serta para aparaturnya.
  3. Kendati yang bersangkutan telah membantah tuduhan dirinya merendahkan NKRI dalam celotehnya yang mereaksi opini publik yang menuntut pembubaran perkumpulan yang dihuninya, namun mengingat celoteh itu diungkapkan oleh seseorang yang konon menjadi tokoh panutan segelintir pihak, dan video celotehannya telah viral hingga menyulut pro-kontra sekaligus polarisasi yang berpotensi memicu ketegangan horisontal, maka penceloteh dimaksud selayaknya diadili sesuai hukum yang berlaku.
  4. Lantaran kerap mencipta kegduhan di ruang publik melalui sejumlah pernyataan yang bertolak belakang dengan arah kebijakan Pemerintah, perkumpulan itu, bila tidak sampai dibubarkan, kiranya perlu dirombak total dari semua aspeknya. Baik secara material yang terkait dengan keanggotaan berikut syaratnya, maupun secara formal dan prosedural, antara lain yang terkait dengan penetapan mekanisme rekrutmen dan uji kelayakan yang adil, objektif, transparan, dan bebas sektarianisme sehingga perkumpulan itu menjadi akseptabel dan kredibel di mata umat dan bangsa.

Sederhananya, keberatan apalagi memprotes penangkapan teroris tak lain dari dukungan verbal terhadap terorisme itu sendiri. Lebih fatal lagi bila protes itu disampaikan dalam celoteh yang keliru total dan provokatif, oleh orang yang mestinya menjadi sandaran moral bagi masyarakat dan Pemerintah.

Akhir kata, dalam negara republik yang menjunjung tinggi asas dan proses hukum, siapa saja yang melanggar dan melawan hukum, baik awam maupun ulama, baik ulama asli atau yang sekadar mengaku-ngaku ulama, wajib diperlakukan sama di hadapan hukum. Tebang pilih tak punya tempat di ranah hukum republik ini. Penegakan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu memberikan rasa aman bagi masyarakat dan menguatkan kepercayaan diri Pemerintah.