DARI kursi terdakwa, dengan air muka tenang, Gayus Halomoan- Tambunan, orang yang paling populer di negeri ini sekarang, meminta kepada Presiden agar dirinya diangkat sebagai staf ahli Kepala Kepolisian RI. Atau staf ahli Kejaksaan Agung. Atau staf ahli Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia lalu menebar janji: dalam dua tahun Indonesia bersih dari korupsi.
Banyak orang tercengang atau mungkin tertawa oleh ucapan Gayus. Barangkali ada yang menduga Gayus sudah gila. Bagaimana mungkin seorang pesakitan, yang didakwa melakukan korupsi dalam jabatannya sebagai pegawai pajak, tiba-tiba ingin menjadi staf ahli penegak hukum yang justru bertugas memberantas korupsi.
Di dalam masyarakat yang normal, tentu wajar saja reaksi seperti itu. Tapi masyarakat kita sedang “sakit”, terutama penegak hukum. Bahkan “sakit” itu sudah sangat parah, perlu tindakan operasi dan amputasi. Niat Gayus menjadi staf ahli jangan-jangan perlu dipertimbangkan, karena sesungguhnya-suka atau tak suka-Gayus itu manusia luar biasa.
Coba renungkan. Mana ada tahanan titipan di kompleks kepolisian bisa bebas keluar-masuk sesuka udelnya. Keluar dari tahanan itu bukan sekadar kangen istri dan anak, tapi berlibur ke berbagai tempat. Mula-mula hanya diketahui ia berlibur di Bali, kemudian terbongkar ia pesiar ke berbagai tempat di luar negeri. Bayangkan, mana mungkin seorang mantan pegawai pajak golongan IIIa bisa melakukan hal itu kalau bukan “manusia luar biasa”. Jangan-jangan Gayus bukan hanya cocok sebagai staf ahli, tapi juga tepat untuk jabatan Kepala Kepolisian itu sendiri.
Kalau kita renungkan lebih jauh, Gayus sebenarnya punya rasa “nasionalisme” tinggi. Ia menghabiskan Rp 900 juta untuk membuat paspor atas nama Sony Laksono untuk bepergian ke luar negeri. Eh, setelah puas berlibur bersama istrinya, ia kembali ke Indonesia, siap menghuni tahanan lagi. Jangan-jangan ia berpikir bahwa rumah tahanan dan penjara di negeri ini semacam “barang semu”, antara ada dan tiada. Sejumlah koruptor sebelumnya-sebut, misalnya, Eddy Tansil dan Hendra Rahardja-susah payah ke luar negeri untuk kabur menghindari penjara. Gayus malah pergi dan datang tanpa disuruh. Di Bandara Soekarno-Hatta barangkali Gayus cukup melambaikan tangan kepada petugas Imigrasi. Seketika itu petugas silau melihat paspor dengan foto “Sony Laksono” berkacamata yang tak lazim, tapi tetap membuat petugas Imigrasi tak curiga. Betul-betul sebuah negeri yang “abnormal”.
Andai kata-sekali lagi andai kata-Gayus diangkat sebagai Kapolri, sepertinya dia begitu mudah memasukkan “anak buah”-nya ke tahanan, karena dia tahu siapa yang berbuat dan apa yang diperbuatnya. Di depan sidang, Gayus secara terbuka menyebutkan polisi yang ditahan karena ulahnya hanyalah “polisi kecil”. Mereka itu kepala dan penjaga rumah tahanan, penyidik seperti Komisaris Polisi Arafat dan Ajun Komisaris Sri Sumartini. Atasannya sama sekali tak diperiksa, apalagi ditahan.
Begitu pula di tempat Gayus bekerja, yang kena selain dia, hanya atasan langsungnya, Maruli Pandapotan Manurung, di atas itu tidak. Padahal, ini menurut Gayus, banyak atasannya yang terlibat mafia pajak.
Gayus sudah membeberkan permainan sebagian mafia pajak. Tapi yang sebagian itu pun sama sekali tak diusut polisi. Gayus mengaku menerima “uang jasa” dari PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, dan PT Bumi Resources. Namun sampai sekarang polisi tak pernah mengusut ketiga perusahaan yang berafiliasi dengan Grup Bakrie itu. Seandainya Gayus yang jadi Kapolri, sudah pasti ketiga perusahaan itu akan diperiksa, mungkin akan lebih banyak lagi perusahaan lain masuk daftar karena polisi lebih gesit. Jangan lupa, “Kapolri” Gayus pasti merupakan petinggi yang tahu medan.
“Sistem hukum kita ada yang tak beres,” kata Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto. Sebenarnya bukan hanya sistem yang tak beres, kemauan pemimpin negeri ini dalam memberantas korupsi belum menunjukkan kemajuan berarti. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyebut akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Tapi yang dilakukan Presiden tak mencerminkan janji itu. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sudah dibentuk, KPK diberi kewenangan yang besar, serta kejaksaan dan kepolisian masih tetap difungsikan dalam pemberantasan korupsi. Namun tak ada hasil signifikan. Presiden seperti membiarkan semuanya jalan sendiri-sendiri. Tak ada koordinasi, malah terkesan “saling menyalip di tikungan”, terbukti dari penanganan perkara Gayus yang sangat amburadul.
Gayus mengaku hanya teri. Masih banyak kakap dan hiu, dan dia tahu semua itu. Jangan-jangan betul Gayus bisa membersihkan negeri ini dari korupsi kalau dia diangkat menjadi staf ahli lembaga pemberantas korupsi itu. Bagaimana kita bisa mencibir dia sekarang ini, wong nyatanya Gayus sudah jadi “pemenang”. (Tempointeraktif)