Sejarah Panjang Pesantren-pesantren Syiah (1)
Hawzah ilmiyah adalah sebuah kawasan ilmu yang tidak dibatasi dinding atau pembatas. Di dalamnya terdapat puluhan bahkan ratusan sekolah, pusat penelitian dan asrama pelajar, masjid dan husainiyah. Ia lebih bisa diumpamakan sebuah propinsi ilmu yang otonom laksana Vatikan di tengah pemerintahan Italia yang berpusat di Roma.
Hawzah sejak dahulu memiliki sistem pengeloalan yang mandiri, termasuk pembiayaan dan beasiswa serta akomodasi siswa dan pengajar yang dialirkan dari dana khumus yang dikelola oleh para marja’.
Hawzah ilmiah adalah sistem tradisional yang dikendalikan oleh para marja’ demi mengatur proses studi agama dan segala hal yang bertautan dengannya.
Hawzah Baghdad
Hawzah Baghdad mengkhususkan diri sebagai hawzah gerakan dan kajian akbar teologis dan fiqhi bagi hawzah-hawzah syiah. Mungkin hawzah ini benar-benar menjadi salah satu madrasah klasik teologi syiah. Hawzah ini memulai peranannya sejak zaman Imam Muhammad al-Jawad (195-220 Q).
Di sana lahir para mutakallim dan faqih ternama serta tokoh-tokoh besar. Tasyayu’ di Baghdad memiliki akar yang tua dan kembali pada masa Salman al-Farisi (32 Qamariyah) –Hawzah Madâ`in. Abu Ishaq Ibrahim, astrolog syiah pertama, adalah orang yang di musim semi tahun 145 Q, memberitahu kepada Manshur jam yang sesuai untuk awal pembangunan kota Baghdad -Da`iratu al-Ma’arif Tasyayu 4/26-27.
Karenanya kaum syiah memiliki peran penting dalam kebangkitan budaya Baghdad sejak tahun-tahun pertama pembangunan Baghdad. Dan terhitung sejak kemenangan Irak lahir salah satu pusat kekuatan dan pertemuan kaum syiah. Berbagai macam strategi para khalifah Abbasiyah terhadap tasyayu di Baghdad. Kaum syiah di Baghdad setiapkali punya kemauan berbuat, budaya akan lahir di kota indah ini. Mereka mengalami surut ketika muncul kaum yang menyiksa dan membunuh mereka. Abad keempat dan awal abad kelima hijriyah, rutinitas otoritas Alu Baweih termasuk masa terpenting dalam sejarah Syiah.
Karena di masa ini, empat kitab riwâ`i (yang memuat hadis-hadis) Syiah: al-Kâfi, Man lâ Yahdhuruhu al-Faqîh, at-Tahdzîb dan al-Istibshâr. Juga empat kitab rijâli (yang memuat para perawi Syiah): Fihrits Syaikh ath-Thusi, Rijâl Syaikh ath-Thusi, Rijal an-Najasyi dan Rijal Kasyi, yang mana (empat kitab tersebut) adalah sebagai poros tasyrî’ bagi para faqih Imamiyah. Pada divisi ini menjadi “masa pengumpulan” dan pemikiran Tasyayu’ (Syiah) Itsna ‘Asyariyah lambat laun menjauh dari golongan Sab’iyah dan Ghulat. Dan golongan Waqifiyah, Mu’tazilah dan sebagian golongan lainnya larut dalam Tasyayu’. Pemikiran Syiah yang kokoh dan besar menjadi pencipta pilar. Dan pemikiran ahli hadis atau Akhbariyun bersamaan awal masa Ghaibah Shughra (260-329 Q) hingga separuh akhir abad keempat hijriyah, menaungi sepenuhnya madrasah-madrasah Syiah dan ia sendiri telah memainkan kekuatan mutlak di hawzah-hawzah Syiah.
Pada masa itu, masalah Mahdawiyah (mahdisme) juga termasuk masalah penting dan ramai diperbincangkan. Sementara para musuh melancarkan serangan dari sisi ini. Mereka melemparkan berbegai macam tuduhan terhadap Syiah. Namun dengan pencapaian kekuatan daulat Syiah Alu Baweih di Iran dan Irak, maka terbentuklah mata rantai madrasah-madrasah filsafat dan teologi Syiah. Dan mayoritas dari kaum teolog menancapkan kekuatan-kekuatan Syiah. Setelah satu perlawanan yang berat dengan Akhbariyun, dengan mengorbitkan karya-karya seperti Tashhîh al-I’tiqâd, Maqabis al-Anwar fi ar-Radd ‘ala Ahli al-Akhbar karya al-Mufid, Risalah fi ar-Radd ‘ala Ashhabi al-‘Adad karya Syarif Murtadha, dengan kekuatan mereka maka (serangan tersebut) berkurang. Dan pemikiran Ahlu al-‘Aql dan Ashhabu al-Ijtihad mendapatkan kekuatan (Majalah Hawzah no 78 tahun 1375 Syamsiyah/146). Setelah penaklukan Baghdad pada bulan Jumadil Ula 334 Q, oleh Mu’izzud Daulah Ahmad Bubahi di masa pemerintahan al-Muthi’ Billah Abbasi dan dengan pencapaian kekuatan kaum Syiah, maka kebebasan kembali pada rakyat. Kelas-kelas pelajaran dan kajian filsafat, kalam, kedokteran, perbintangan, irfan, matematika dan semua bab-bab ilmu, mengalami kemajuan. Masa Alu Baweih di Baghdad merupakan masa paling gemilang bagi peradaban Islam.
Sebagian perintis hawzah Baghdad antara lain: Tsiqatul Islam Syaikh Abu Ja’far Muhammad (329 Q), putra Ya’qub al-Kulaini penulis kitab al-Kafi yang memegang otoritas fuqaha Syiah di masa al-Muqtadir Billah, khalifah Abbasiyah. Dan kalangan ulama dari jauh dan dekat sering datang ke madrasahnya. Ustadz DR Husain Mahfuzh menulis dalam mukadimahnya atas kitab al-Kafi:
“Majelis kuliahnya (putra al-Kulaini) adalah pusat para ulama besar dari daerah jauh dan dekat yang datang untuk mencari ilmu dan menggali ilmunya”..
Syaikh Abu Abdillah Muhammad (413 Q) yang dikenal dengan Syaikh Mufid, salah seorang teolog besar dan faqih Syiah, di hawzahnya ratusan pelajar belajar ilmu kepadanya. Alamul Huda Syarif Murtadha (436 Q), seorang teolog dan ulama Syiah terkenal, cuma dia yang punya kursi ta’lim di Baghdad. Syaikh Abu Ja’far Muhammad ath-Thusi (460 Q) yang dikenal dengan Syaikh ath-Tha`ifah, pada tahun 408 datang dari Khurasan ke Baghdad dan masuk ke hawzah pelajaran Syaikh Mufid, Sayyid Murtadha dan lainnya. Khalifah Abbasiyah al-Qatim Biamrillah menyerahkan kursi ta’lim ilmu kalam kepadanya di Baghdad. Dan pelajar-pelajar ilmu agama dari berbagai daerah datang ke hawzahnya (Syaikh Thusi). Jumlah murid-muridnya lebih dari dari 300 orang. Syaikh Agha Buzurg Tehrani tentang syarah kehidupan Syaikh Thusi, beliau menyebutkan ada 36 nama orang-orang besar sebagai murid-muridnya.
Hawzah Syiah Baghdad di masa itu sebagai taman tarbiyah dan sumber ulama, para mujtahid, mutakallim (teolog) dan fuqaha Imamiyah besar yang terkenal. Hawzah ini mewariskan pusaka yang berharga. Dan adalah pusat budaya yang membesarkan ratusan orang alim yang faqih, mutakallim dan meyakini ajaran Ahlulbait. Dengan semangat tinggi dan keteguhan mereka yang tak kenal lelah, hawzah ini menjadi obor yang menyala bagi Tasyayu’ di berbagai tempat dunia Islam.
Di sisi lain, ajaran Tasyayu’ dan penganutnya yang berdiri sebagai fenomena kontra terhadap kezaliman (orang-orang) istana khulafa Abbasiyah, mendapatkan kedudukan yang tinggi di tengah khalayak rakyat dan sebagai sebuah ideologi yang unggul di hadapan muslimin. Gerakan pemikiran ini mengkhawatirkan istana Abbasiyûn, karena itu mereka menjalin perjanjian dengan umara` Turki Sunni yang memusuhi umara Syi’i Iran. Perjanjian sial ini menyebabkan pemerintahan Samaniyûn (261-389 Q) di belakang sungai Khurasan yang merupakan benteng kaum Sab’iyah, digulingkan oleh Alputkin pimpinan pasukan Turki Ghaznawi, dan pemerintahan Alu Bawaeih (320-448) oleh Salajiqah.
Bangdad di bawah kekuasaan Thoghrol Bik Saljuqi, menyebabkan hawzah besar Baghdad dan universitas Syiah Baghdad juga mati. Perpustakaan-perpustakaan Imamiyah dibakar dan orang-orang Syiah di semua markas Syiah dibunuh. Di tambah lagi muncul fitnah-fitnah golongan Syiah dan Sunni. Di antara karya-karya Syiah, perpustakaan Sayyid Murtadha yang menampung 80000 ribu kitab berharga nan langka dan perpustakaan Abu Nashr Syapur bin Ordasyir, perdana menteri Baha`uddaulah al-Baweihi, yang dibangun pada tahun 381 Q di Kurkh, kampung orang-orang Syiah, sebagai “Baitul Hikmah”, itu musnah dibakar. Yaqut Hamudi tentang perpustakaan ini, ia menulis:
“Di perpustakaan khusus Abu Nashr Syapur,… ada kitab-kitab yang sepertinya tidak dimiliki oleh seorangpun di dunia ini. Kebanyakan kitab-kitab tersebut adalah tulisan tangan para penulisnya sendiri. Namun masuknya Toghrol Bik, raja Saljuqi, ke Baghdad pada tahun 447 Q, perpustakaan ini dengan apa yang ada di daerah Kurkh dibakar (Mu’jam al-Buldan 2/342).
Mereka juga membakar rumah dan perpustakaan Syaikh Thusi, dan kursi yang beliau duduki mengajar teologi dibawa ke lapangan besar Kurkh dan dibakar (al-Muntzhim, Ibn Jauzi 16/16). Syaikh Thusi terpaksa hijrah ke hawzah Karbala dengan sembunyi-sembunyi dan beberapa waktu kemudian pergi ke Najaf. Lalu beliau mendirikan madrasah di sana. (Sebagian besar sumber tidak disertakan karena tulisan ini merupakan salah satu bagian dari draft disertasi penulis. Mohon maaf)