Banyak kalangan, terutama yang alergi terhadap filsafat, merawat sederet anggapan “lumrah” berikut:
- Menganggap relativitas itu sama belaka dengan relativisme.
- Mencampuradukkan relativitas epistemologis dan aksiologis dengan relativitas ontologis.
- Mengira afirmasi terhadap kenisbian identik dengan negasi atas kemutlakan.
- Mengandaikan begitu saja afirmasi atas relativitas konsepsi (subjektivitas) terhadap objek sebangun dengan menafikan realitas objektif (objektivitas);
- Naif menyangka afirmasi terhadap relativitas sama saja dengan afirmasi atas nihilitas dan absurditas.
Orang yang beruntung karena memperoleh karunia kesadaran epistemologis tak akan berusaha meruntuhkan dinding beton postulat conditio sine qua non tentang relasi niscaya kenisbian dan kemutlakan. Dengan kata lain, kesadaran epistemologis mentakdirkan terma nisbi dan kenisbian selalu berpasangan dengan terma mutlak dan kemutlakan. Artinya, siapapun yang mengafirmasi kenisbian pasti (meski tak disadari) mengafirmasi kemutlakan.
Klausa “semua kebenaran adalah relatif” justru mengafirnasi kemutlakan sang “relatif”. Yang “relatif” dalam kalimat itu niscaya diandaikan sebagai mutlak sehingga dapat dijadikan “standar” bagi “kebenaran”. Nah, sesuai postulat bahwa “kemutlakan adalah kebenaran itu sendiri”, maka yang “relatif” dalam klausa di atas sebenarnya lebih berupa “kebenaran implisit”.
Kebenaran relatif dalam wawasan ontologis adalah pantulan dari emanasi gradual Kebenaran Mutlak. Kualitas kebenaran relatif secara diskursif ditentukan oleh kadar simpleksitas dan kompleksitas eksistensialnya dalam skema gradasi.
Individu yang hanya puas menelan info-info mentah yang leterlik jelas tak menyadari bahwa menolak kenisbian berarti menolak kemutlakan yang justru akan menghempaskannya ke jurang nihilisme, agnotisisme, dan absurdisme. Alih-alih jadi pembela kebenaran, ia malah sedang mengusung dan merayakan sofistika alias safsatah (softoh!).