Worldview perlu lebih dari kutipan-kutipan Ia memerlukan seperangkat sarana epistem yang mengkonstruksi premis-premis aprior- apisterior secara sistemik.
Dalam worldview inilah rasio, rasa dan wahyu berkelindan. Ini bukan tandingan sepadan skriptularisme membatu yang hanya mengandalkan hingar binger.
Worldview ini bukan mazhab atau lontaran sporadis pikiran manusia, tapi karya peradaban yang dibangun manusia-manusia cerdas dari Thales hingga Thabathabai.
Worldview inilah yang jadi asas piramida epistem. Inilah “trend kesadaran” pembeda antara agama candu dan agama kesadaran, esensi dan eksistensi.
Worldview melejitkan kesadaran perdana tentang eksistensi jiwa sebagai entitas abstrak, simplex, dan eternal. Ini bukan untuk dilombakan di arena mazhab.
Worldview komprehensif, universal dan holistik ini tak tunduk pada rezim statistik mayoritas dan minoritas. Inilah horison wisdom transenden.
Saking bangkrutnya dalam epistemologi sehingga merasa bisa memahami wahyu persis sebagaimana Nabi memahaminya. Wahyu suci tidak koheren dengan kita yang dekil.
Klaim memahami wahyu Quran dan hadis persis seperti pemahaman Nabi (dan karena itu mengkafirkan orang lain) adalah klaim kenabian tanpa sadar.
Secerdas siapapun, pemahaman saya dan anda tentang apapun adalah produk persepsi yang tidak mutlak, tidak sakral dan tidak objektif. Jadi ga perlu ngotot!
Orang-orang yang mengajak orang-orang lain mengkafirkan kelompok lain mengira orang-orang itu lebih naif dari mereka sehingga sangat yakin bisa mempengaruhi dan memprovokasi mereka.
Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang meyakini doktrin bahwa orang-orang terbaik hanya yang terdahulu lalu generasi berikutnya hngga kita yang hanya sisa-sisa.
Kadang tidak tahu lebih baik daripada tahu setengah-setengah, tidak sistemik, apalagi hasil copas, sobekan selebaran n buku tanpa ISBN.