Mahmoud Abbas (lahir 26 Maret 1935), umumnya dikenal kunya atau nom de guerre Abu Mazen adalah Presiden Palestina versi Amerika dan sekutu-sekutunya. Ia menjadi Ketua Otoritas Nasional Palestina (PNA: Palestinian National Authority) pada 9 Januari 2005 dan menjabat kembali sejak 15 Januari 2005.
Abbas lahir dan dibesarkan di Safet. Setamat sekolah dasar di kota itu, ia hijrah ke Suriah setelah perang tahun 1948. Ia melanjutkan sekolah menengah dan perguruan tinggi di kota Damaskus. Setelah tamat dari jurusan hukum Universitas Damaskus, ia mendirikan lembaga Palestina pertama pada tahun 1954 di Suriah. Inilah awal mula karier politiknya.
Awal tahun 1960-an, ia menjadi pegawai Departemen Pendidikan di Qatar dan bersahabat dengan Yasser Arafat (1929-2004). Ia kemudian menjadi anggota Majelis Nasional Palestina pada tahun 1968 dan memimpin perundingan tidak resmi dengan Israel pada tahun 1977.
Sejak tahun 1983, ia menjadi anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) serta memimpin komite nasional dan internasional yang berkonsentrasi pada urusan organisasi non-pemerintah. Ia memulai kembali perundingan rahasia dengan pejabat Israel pada tahun 1989 lewat perantara Belanda. Ia tetap menjalankan aktivitas perundingan di balik pintu dengan Israel ketika dan pasca-Konferensi Madrid tahun 1991. Pasca Konferensi Madrid, ia dipercaya menjabat sebagai koordinator urusan perundingan. Ia meletakkan rencana dan pengarahan pada tim perunding Palestina.
Abbas dengan George W. Bush dan Ariel Sharon di Aqabah
Saat Pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arafat membentuk lembaga perdana menteri, ia ditunjuk untuk menjabatnya tetapi mundur empat bulan kemudian (Juni 2003-September 2003. Ia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua PLO sepeninggal Yasser Arafat (11 November 2004). Ia terpilih menjadi Presiden Palestina pada pemilu 9 Januari 2005 dengan 62,3 persen suara. Kemenangan Hamas pada Pemilu Legislatif 25 Januari 2006 menghantarkan Ismail Haniya untuk posisi Perdana Menteri Palestina. Hamas yang semenjak awal perjuangannya menolak mengakui negara Israel membuat kesulitan posisinya, sehingga Abbas berniat menyelenggarakan sebuah referendum pada 31 Juli 2006 untuk menentukan perlu tidaknya Palestina mengakui negara Israel.
Popularitas Presiden Palestina Mahmoud Abbas turun pada titik terendah. Menurut banyak warga Palestina di Tepi Barat Sungai Yordan, Abbas (73) tidak tahu lagi apa yang terjadi di kalangan warganya, juga tidak di wilayahnya Ramallah tempat dia berkuasa.
Tak lama setelah tengah malam, alun-alun di tengah kota Ramallah dipenuhi orang yang setiap hari berdemonstrasi memprotes serangan Israel di Jalur Gaza. Para demonstran menyanyikan lagu-lagu Palestina, “Demi Allah, kami semua orang Palestina. Israel mati!”
Tiba-tiba terjadi panik. Seperti dilaporkan koresponden Radio Netherlands David Poort, semua orang berlarian. Gas air mata memenuhi alun-alun Ramallah, sementara pasukan anti huru hara pemerintah Palestina menahan banyak demonstran. Konon ada orang yang melambai-lambaikan bendera Hamas dan itu dilarang oleh pemerintah Palestina. Menyerukan yel-yel Hamas juga dilarang.
Pasukan anti huru hara diperintahkan oleh Presiden Mahmoud Abbas untuk tidak lama membiarkan demonstrasi. Setelah satu jam alun-alun Ramallah berhasil disapu bersih. Para demonstran diperintahkan mengosongkan jalan-jalan supaya lalu lintas kembali lancar.
“Abbas ingin unjuk gigi bahwa dia tetap berkuasa,” kata Lena, seorang demonstran dari Ramallah. “Tapi bagi saya ia sudah kehilangan wibawa karena bersikap lembek terhadap perang di Gaza. Ini bukan Hamas lawan Fatah. Ini lebih merupakan rakyat melawan pemerintah Palestina.”
Serangan Israel di Jalur Gaza tak pelak lagi berhasil mendongkrak popularitas Hamas di Tepi Barat Sungai Yordan. Sedangkan pemerintah Palestina makin kehilangan dukungan.
“Di jalan-jalan berkecamuk perasaan persatuan di kalangan orang Palestina, tetapi orang tetap dilarang menyuarakan dukungan terhadap Hamas,” begitu Lena mengeluh. “Abbas hanya bisa omong, tidak bertindak. Hamas sekarang memimpin perlawanan terhadap Israel.”
Presiden Palestina memang terjepit di tengah-tengah situasi yang tidak mungkin. Israel dan Amerika Serikat mengangkatnya sebagai pemimpin moderat bagi negara Palestina merdeka di masa depan. Kesepakatan ini juga berarti harus bisa menyingkirkan Hamas. Tetapi, karena gagalnya perundingan terakhir dua tahun silam, Abbas sekarang tidak punya andalan lagi.
Pada tahun 2005, Abbas dipilih untuk jabatan selama empat tahun. Resminya, masa jabatan itu berakhir 9 Januari lalu, tetapi Abbas menolak mundur, menurutnya jabatannya baru akan berakhir tahun 2010.
Di pinggir alun-alun Ramallah, didirikan sebuah tenda yang sarat dengan bahan pangan dan selimut. Di sini dihimpun bahan bantuan oleh PBB untuk diangkut ke Gaza. Ini adalah gagasan spontan warga Ramallah, bukan pemerintah Palestina.
Beberapa hari lalu, pemerintah Palestina mulai mengadakan aksi pengumpulan bantuan. Tenda pemerintah tegak tidak jauh dari tenda PBB, tapi tak seorang pun datang dengan sumbangan. “Mereka hanya meniru kami,” kata Amjad Taweel, pengurus Pusat Pemuda Palestina di Ramallah. “Mereka mendirikan tenda di sebelah kami. Dan itu baru mereka mulai. Mereka sangat terlambat. Mereka baru mulai setelah rakyat memulainya.”
Amjad Taweel sendiri tengah menumpuk bantuan pangan di dalam tenda. “Saya bukan pendukung Hamas, saya justru anti mereka, tetapi saya dukung saudara-saudara kami di Gaza.” Abbas harus melihat rakyatnya menderita di bawah pendudukan Israel. Demikian Taweel.
Tak lama setelah serbuan Israel ke Jalur Gaza dimulai, Presiden Abbas langsung menyalahkan Hamas. Kalau saja Hamas bersedia memperpanjang gencatan senjata yang berlaku sampai pekan lalu, maka Israel tidak akan punya dalih untuk melancarkan serangan. Demikian pikiran Presiden Abbas. “Sudah berkali-kali saya peringatkan mereka,” kata Abbas tak lama setelah Israel menghunjamkan bom mereka.
Tapi banyak orang Palestina tidak setuju dengan pendirian presiden mereka. Bahkan mereka marah karena Presiden Abbas tidak sepenuhnya mendukung rakyat Gaza. Bagi mereka satu-satunya penyebab perang adalah pendudukan Israel.