Istana Bogor dibenahi. Landasan helikopter dilebarkan. Jalan radius 2 kilometer dari istana ditutup. Jaringan telepon diblokir. Sekolah-sekolah dilibuikan dan stadion Pajajaran ditutup. 2.000 personil petugas keamanan disiagakan. Dan jangan lupa puluhan milyar rupiah pun dikucurkan. Ada apa?
Indonesia akan kedatangan tamu besar, seorang penjagal terbesar dalam sejarah modern kelahiran Texas. Negara kita, Indonesia, yang kehilangan posisi tawar karena menjadi ‘pasien’ badan-badan ekonomi dunia (sentra-sentra kapitalis), tergagap gagap mempersiapkan segala sesuatu demi menyambut kedatangan pecundang dari partai Republik, George Walter Bush.
Ketika lebih dari 10.000 warga sipil di Palestina, Libanon, Irak, Afghanistan, dan Sudan menjadi sasaran adu ketangkasan para seradadu Amerika dan sekutunya, dan saat air mata rakyat empati dan sedih Indonesia dari pelbagai agama dan kelompok lintas aliran masih belum kering, kedatangan Bush yang dikawal ultra-ketat di negeri kita benar-benar memancing amarah, atau paling tidak, menimbulkan tanda tanya besar terhadap independensi Pemerintah Indonesia dalam menyikapi intervensi AS di Timur Tengah dan dunia secara keseluruhan.
Ada banyak spekulasi yang telah diulas dan ditulis oleh para pengamat tentang agenda substansial dalam pertemuan SBY dan GWS. Kita telah banyak dijejali dengan berbagai macam justifikasi, penjelasan apologetik dan analisis-analisis yang menyembur dari mulut aparat, jubir istana dan para pengamat dari lembaga penelitian dan kajian yang berkiblat ke Barat.
Sikap ‘lemah lembut’ pemerintah Indonesia akibat pencabutan embargo militer, apalagi sejak ditahbsikan sebagai anggota tidak tetap dalam DK PBB, membuka celah yang amat besar bagi AS dan Imperialisme internasional, untuk memperluas domain pengaruh politik dan hegemoninya.
Meski telah ditegaskan berulang kali Menlu Hasan Wirayuda dan pejabat RI lainnya bahwa agenda pembicaraan kedua pemimpin tersebut hanya berkisar pada soft power, seperti pendidikan dan lainnya, kita, bangsa Indonesia, yang mempunyai kesadaran politik dan mulai melek informasi, tidak mudah percaya lalu menganggapnya sebagai kunjungan biasa, sebagaimana kunjungan kepala negara lainnya.
Melihat sikap Iran, Korsel, Venezuela, Bolivia dan negara-negara anti Imperialisme lainnya, sebagai negara yang yang berada dalam posisi sangat strategis di kawasan Asia Tenggara dan memiliki aneka sumber alam yang berlimpah, Indonesia tidak perlu terlalu khawatir akan eksistensinya hanya karena tidak mendapatkan dukungan politik dan militer dari AS. Iran, sejak Revolusi Islam, telah diembargo oleh AS dan seluruh kekayaannya di Amerika dibekukan, ternyata makin matang dan mampu survive bahkan kini menjadi calon pesaingnya di Timur Tengah dan dunia Islam. Kedatangan Bush, apalagi setelah partainya dipecundangi oleh kubu republik di Senat maupun Kongres, sebenarnya tidak lagi memiliki arti yang signifikan bagi Indonesia, apalagi Bush sendiri sudah tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai preiden beneran akibat plice ala cowboy-nya yang arogan.
Gerangan apa yang mendorong Bush datang ke negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ini? Bukankah masalah pendidikan bisa dibicarakan pada level menteri? Adakah ini berkaitan dengan kunjungan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang disambut secara luar biasa oleh rakyat Indonesia, terutama mahasiswa beberapa waktu lalu? Ataukah ini berkaitan dengan makin meluasnya antipati rakyat Indonesia terhadap Amerika dan Barat? Adakah agenda tersulubungnya adalah Exxon dan sejumlah perjanjian kontrak investasi persuahaan AS yang tidak adil?
Tentu, kunjungan Bush dengan segenap pengamanan ekstra ketat itu tidak akan menyamai rekor sambutan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, terutama saat memberikan stadium generale di UI Depok dan UIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Kunjungan Ahamdinejad adalah kunjungan seorang trasnasionalis muslim yang mengajarkan seni keberanian patriotik kepada bangsa Indonesia. Ahamdinejad dan Bush sama-sama berkunjung ke Indonesia. Tapi, kunjungan Ahmadinejad adalah kunjungan ke rakyat dan negara sekaligus, sebuah kunjungan substansial. Sedangkan kunjungan Bush hanyalah kunjungan ke negara, sebuah kunjungan artifial.
Hubungan bilateral yang tidak disisipi dengan syarat-syarat inetrvensi memang diperlukan oleh Indonesia yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan ekonomi. Semoga kunjungan ‘sang pecundang’ ini tidak membuat SBY dan Pemerintah RI berubah sikap terutama soal Palestina dan nasib umat Islam di Timur Tengah.
Memang, tamu harus disambut. Hanya saja, cara dan alasan penyambutan tidak selalu sama. Ahamdinejad dan Bush sama-sama disambut oleh rakyat Indonesia. Bedanya, Ahamdinejad disambut dengan dukungan dan airmata keharuan, sedangkan Bush disambut dengan ratusan ribu manusia Indonesia yang berteriak lantang ‘wellcome, looser’…! (copyright majalah dwimingguan ADIL 2006)