SENGKETA ATRIBUT SALAF, SALAFI DAN SALAFIYAH
Kita sering mengalami gempa sebagai bencana alam dengan ragam efekya yang menyengsarakan. Tapi kali ini kita mengalami gempa jenis lain yang tak kalah dahsyat, yaitu gempa moral dan bencana sosial. Sebuah asrama yang berlabel lembaga pendidikan agama yang menampung banyak santriwati telah dijadikan semacam tempat perbudakan seksual oleh pengasuh pesantren yang belakangan melalui rekam jejak digitalnya diketahui orang lumayan penting dan diduga sebagai Ketua Kelompok Kerja Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (Pokja PKPPS) Jabar.
Terlepas dari benar atau tidaknya posisi formalnya, yang pasti dalam aneka berita seputar aktivitas formal pedofil ini tertera kata penting salafiyah. Karena itu kita perlu menyoroti kata salafi, salafi dan salafiyah agar tidak bingung dan salah menyimpulkan karena banyak pihak menggunakannya.
Semula kata salaf menjadi semacam atribut khas mayoritas umat yang direpresentasi oleh NU. Itulah sebabnya hampir seluruh pusat pendidikan agama (pesantren) diberi nama ‘al-ma’had as-salafi’ atau al-madrasah as-salafiyah sebagai penegasan pola khas keberagamaan kaum nahdhiyin di Indonesia
Namun belakangan ini kata salaf, salafi, salafuna dan salaf saleh diakuisisi oleh kalangan non Sunni, yaitu kelompok yang mengusung teologi Wahabi yang bermuara kepada Ibnu Taimiyah. Sebutan ini digunakan sebagai ganti dari wahabi yang mati pasar di Indonesia.
Salaf adalah kata Arab yang berarti ‘berlalu’ sebagai lawan dari ‘khalaf’ yang berarti ‘menyusul’.
Sebenarnya kata salaf bukan milik kelompok tertentu karena setiap Muslim, apapun aliran dan kelompoknya, berhak mengaku sebagai pengikut salaf. Namun demikian, kebenaran tidak diukur dengan arah angin (Timur dan Barat dan sebagainya) juga tidak dipatok dengan daur waktu (dulu dan sekarang). Hanya karena lebih dulu hidup tak niscaya lebih baik.
Penetapan bahwa orang yang terdahulu (salaf) lebih baik dan wajib diikuti orang yang hidup setelahnya (khalaf) adalah premis invalid karena elemen subjeknya tidak faktual.
Karena lebih dulu menggunakanya di Tanah Air, kaum nahdhiyin lebih berhak secara historis dan kultural menyandangnya.