Skip to main content

Sepak Bola dan Sepak Terjang Arab Saudi

By October 20, 2011No Comments

Dalam beberapa hari ini hubungan Indonesia agak tegang. Setelah suporter Indonesia merasa dikadali oleh wasit asal Uni Emirat Arab, negara serumpun Arab Saudi dalam pertandingan melawan Indonesia di Piala Asia, kini pemerintah Arab Saudi mengikuti jejak Uni Eropa melarang pesawat milik maskapai Indonesia mendarat di negaranya.
Kontan saja, pemerintah Indonesia sewot. Maftuh Basyuni, Menteri Agama, sampai-sampai melontarkan gagasan kontroversial tentang penghentian pengiriman jemaah haji Indonesia tahun ini. Lontaran mantan Duta Besar RI untuk Arab Saudi ini mengundang pro dan kontra. Din Saymsuddin dan sejumlah tokoh serta ormas mendukungnya. Sebagian kalangan malah mengkritik Indonesia karena dinilai over reactive dan tidak mau mengevaluasi kinerja dan pelayanan Departemen Perhubungan yang sudah berganti menteri.
Tidak hanya sampai di situ, ide tentang internasionalisasi Mekkah dan Madinah selama pelaksanaan ibadah haji, yang dulu pernah dilontarkan Iran dan ditentang oleh hampir seluruh negara Islam, kini mulai muncul lagi.
Semestinya, pemerintah Arab Saudi bisa mempertimbangkan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia sebelum memberikan warning yang sangat menyakitkan itu. Bayangkan bila larangan itu benar-benar diterapkan! Pemerintah akan kewalahan mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat pembatalan massal jamaah haji Indonesia. Dampak lain yang akan dirasakannya adalah kerugian finansial yang harus ditanggung oleh Garuda, sebagai perusahaan penerbangan milik negara.
Lalu, benarkah pembatalan haji itu secara fikih dapat dibenarkan dengan alasan hukum wajib berhaji gugur akibat hilangnya istitha’ah (kemampuan), sebagaimana sempat dilontarkan Maftuh Basyuni beberapa hari lalu?
Menurut fikih, bila kendala itu menimbulkan gangguan psikologis yang dapat mempengaruhi proses ibadah haji, maka syarat-syarat kewajibannya pun punah. Sejauh mana pelarangan terhadap penerbangan pesawat Indonesia ke Arab Saudi ini mempengaruhi kondisi psikologi jemaah haji Indonesia? Itulah yang tampaknya perlu dikaji secara lebih mendalam. Di satu sisi, Pemerintah Arab Saudi, yang dikuasai oleh Keluarga Saud, harus menanggung beban keagamaan (dzimmah) yang semula berada di pundak para calon jemaah haji Indonesia yang sudah memenuhi syarat istihta’ah maliyah (kemampuan finansial).
Di sisi lain, pemerintah Indonesia harus rela dikoreksi dan dikritik atas buruknya kinerja dan pelayanan transportasi. Kecelakaan bertubi-tubi di darat, laut dan udara yang merenggut banyak nyawa, tidak bisa ditutup-tutupi sambil mengecam Uni Eropa dan Arab Saudi yang mungkin akan memberlakukan larangan itu. Pemerintah harus berhenti merengek atau menampik semua kritik, dan segera mengadakan dialog untuk mecari jalan keluar dengan Uni Eropa dan Arab Saudi, apalagi musim haji sudah dekat dan pendaftaran calon haji telah ditutup.
Ide ‘intenasionalisasi pengelolaan haji’ memang perlu digulirkan terus-menerus, bukan karena Indonesia menjadi korban perlakuan diskrimatif semata, namun karena Mekkah dan Madinah semestinya menjadi pusat dunia Islam, bukan milik sebuah keluarga yang menjadikan tanah suci itu menjadi propertinya.
Syukurlah, belakangan Pemerintah yang menghapus nama Hijaz dengan nama keluarga Saud ini tidak melanjutkan rencananya tersebut. (Sumber: www.adilnews.com)