Setelah sukses dengan karya pertama, Da Peci Doce (yang ternyata “best seller), teman saya di TK kota Jember, Ben Sohib beberapa hari lagi akan menggebrak dunia pernovelan Indonesia dengan “Rosid dan Delia”.
Rosid dan Delian yang diterbitkan oleh Ufuk ini tidak sesederhana novel pertama, karena sumber konflik bukan lagi lagi peci dan rambut kribo tokoh utama, Rosid, namun ketegangan sensitif yang timbul karena “cinta terlarang”.
Sebagai pemuda pemberontak dan rada liberal, Rosid mendeklarasikan cintanya kepada Delia, tokoh yang sempat nongol sekilas pada Da Peci Code. Delia adalah produk budaya yang jauh berbeda dengan karakter Arwi (arab-betawi). Tidak hanya itu, “ntu dare kresten,” sungut Mansur al-Gibran, abah Rosid, pemilik toko peralatan akhirat di PGC.
Meski tidak berhasil (atau tidak berencana) menampilkan novel ini sebagai novel humor, karena terseret ke pewacanaan perkawinan lintas agama, Ben Sohib masih punya beberapa jurus yang sesekali akan membuat pembaca yang sedang tegang mengikuti adegan-adegan tegang, terpingkal-pingkal.
Rosid dan Delia, karena ditulis oleh insider, bisa dianggap konfirmasi spektakuler sebuah generasi muda dari elemen bangsa yang lumayan berpengaruh secara sosial keagamaan bahkan politik, tentang kehendak untuk dipandang sebagai fenomena “sini-kini” yang mengedepankan substansi ketimbang formalisme.
Keberanian durena (duda keren) ini dalam mendedahkan masalah akulturasi yang cukup sensitif ini, patut diacungi jempol.
Yang membuat saya tidak habis pikir, bagaimana seorang yang penampilannya tidak terlihat “lucu” (seperti cover boy novelnya), Ben bisa membuat SMS dan cerita-cerita yang menghibur.