SIAPA "KITA" ?

SIAPA "KITA" ?
Photo by Unsplash.com

KITA

"Kita" adalah kata ganti yang mengandung arti "aku, kamu dan dia".

Tantangan dan potensi gangguan terhadap “jalan” ini di masa-masa mendatang tidak akan lebih kecil dari sebelumnya kalau tidak lebih besar.

“Kita” masih disalahpahami oleh Pemerintah dan aparat keamanan karena tuduhan tak berdasar “gerakan transnasional” yang berafiliasi secara ideologis dengan sebuah negara nun jauh disana karena data-data yang tidak valid dank arena kcurigaan yang bugil dari fakta.

“Kita” sebagai bagian jalan rasional yang mendeklarasikan dukungan multidimensi terhadap perjuangan rakyat Palestina dan menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan kontra hegemoni kapitalis dan neokolonialisme dan liberalisme tak lagi bisa dianggap “moderat” dalam kamus Gedung Putih.

“Kita” yang menjadikan rasionalitas dan spirit Karbla sebagai elan vital telah mengambil risiko berhadapan dengan teologi Horor yang menjadi garda terdepan rezim-rezim despotik Arab melalui aksi-aksi provokasi dan pembodohan umat dan kampanye manipulasi teks agamma demi menghidupkan sentimen sektarian dengan beragam sarana media, dana dan teror.

“Kita” yang menolak segala bentuk reduksi dan desakralisasi agama, jelas bukan menjadi mitra kaum sekular dan liberalis termasuk yang mengatasnamakan Islam, yang secara terang-terangan menjalankan agenda kekuatan anti Islam.

“Kita” yang mengalami krisis koordinasi dan menguras energi, pikiran akibat individualisme, figurisme dan yayasanisme yang secara sadar atau tidak sadar membuka celah infiltasi dan upaya-upaya pengadukan dan pengalihan dari priorotas-prioritas.

“Kita” yang kehilangan momentum-momentum penting yang bisa memantapkan eksistensi sebagai bagian integral bangsa ini akibat polemik-polemik dan kontra polemik sektarian yang samasekali menghambat upaya memberikan kontribusi nyata bagi bangsa ini. Delegitimasi antar institusi dan person menjadi trend dan tradisi.
“Kita” yang tergopoh-gopoh saat menjadi “musuh bersama” akibat provokasi dan kampanye kebencian sistemik karena tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam segala lini strategis, terutama politik.

“Kita” yang tidak mampu mengedepankan asas”klarifikasi” dan “konfirmasi” juga “verifikasi” dalam dinamika internal sehingga setiap upaya yang dibangun dengan kerelawanan kandas atau tertatih-tatih,karena mengemban beban kritik, tuduhan, cemooh, tuntutan dan beragam ekspektasi tanpa partisipasi inten dan serius dari setiap individu yang merasa bertanggungjawab mengamankan jalan ini.

“Kita” yang terdiri dari individu-individu yang masing-masing mengambil posisi sebagai “tamu”, “klien” dan “juragan” bahkan “penggugat” tanpa merasa perlu untuk menambal apa yang kurang melalui partisipasi dan langkah-langkah terukur.

“Kita” yang enggan mengintegrasikan diri dalam sebuah entitas yang berwibawa, tangguh, dan siap untukmenerjemahkan “jalan” ini dalam konteks kesinian dan kekinian, malah makin menggemu menghidupkan fosik-fosil kebencian tribalisme, rasialisme dan sejumlah isu konyol yang bukan produk “jalan” ini.

“Kita” yang tak menegaskan jatidiri sebagai bagian dari bangsa ini secara aktual dan mempertegas posisi terhadap institusi apapun di luar teritori Ibu Pertiwi. Kita yang belum menunjukkan upaya memformulasi akidah Ahulbait bercitrasa Indonesia dan berwarna Merah Putih.

Lalu, apa yang paling logis dan mungkin dilakukan?

Read more