Hari-hari ini terjadi perdebatan sengit di di forum dan kalangan politisi dan jurnalis media Arab, dan Palestina juga Indonesia, seputar cara menentukan dan menilai hasil-hasil perang tiga pekan yang dilancarkan Israel atas Jalur Gaza dari aspek untung dan rugi. Para pendukung gerakan perlawanan mengaku sebagai pemenang, sedangkan para penentangnya yang berada di blok “Arab moderat”, termasuk di dalamnya para pejabat pro Presiden Mahmud Abbas, di Ramallah, Tepi Barat, menganggapnya sebagai kekalahan, dengan menjadikan jumlah korban luka dan meninggal dunia serta angka kerugian material dan kerusakan bangunan dan infrastruktur sebagai alasan dan tolok ukur.
Mari kita lihat dan diskusikan secara rasional, apalagi sejumlah fakta di lapangan mulai muncul, setelah agresi Israel atas Gaza berhenti, meski sementara, dan fokus mulai berpindah kepada isu-isu rekonstruksi, dana-dana yang telah dianggarkan dan pihak manakah yang berhak melaksanakan tugas ini.
Coba kita asumsikan bersikap sebagai penentang gerakan perlawanan, tepatnya Hamas, dan asumsikan secara dialetik bahwa Hamas tidak menang dan bahwa kemenangannya adalah kemenangan yang sangat mahal, maka pertanyaan yang akan muncul ialah, apakah pihak Israel yang menjadi pemenang dalam perang ini dan mencapai semua target-targetnya?
Berbagai pengalaman pertempuran yang silam telah mengajarkan kepada kita bahwa pemenang adalah yang mencapai target-targetnya pada akhirnya, dan memaksakan syarat-syarat untuk menyerah terhadap pihak yang hanya punya opsi menerima kekalahan terebut, dan selanjutnya menandatangi dokumen tanpa sedikitpun keberatan, sebagaimana dialami oleh Irak yang kalah pada perang 1991.. Lalu, apakah milisi-milisi perlawanan di Gaza mengalami proses-proses ke-pecundang-an seperti itu bila dianggap sebagai pihak yang melemparkan handuk putih dan menerima syarat-syarat yang diajukan pihak pemenang?
Jawabannya tentu tidak. Hamas dan faksi-faksi perlawanan hingga detik ini dengan lantang sesumbar untuk mempertahankan tanah dan harkat rakyatnya, dan sama sekali tidak meminta gencatan senjata sesuai syarat-syarat yang diajukan oleh pihak Israel. Tidak hanya itu, Hamas dan faksi-faksi perlawanan menolak proposal yang dirancang oleh Mesir tanpa ragu-ragu, sehingga menyebabkan Israel mengambil keputusan gencatan senjata sepihak dan menarik seluruh pasukannya dari Gaza demi mengurangi kerugian-kerugian politik dan militer.
Dapat dikatakan dengan tegas bahwa Israel dalam agresi ini mengalami kekalahan militer sekaligus kerugian politik, dan keluar sebagai pecundang, meski telah menciptakan kehancuran dan membunuh serta melukai ribuan warga.
Pertama:
Bila Israel memang pihak yang menang, mengapa ia mengemis kepada masyarakat internasional agar mengirimkan kapal-kapal perang guna mengawasi pantai-pantai Gaza dan buru-buru menandatangi perjanjian keamananan dengan Pemerintah AS demi menghalangi penyelundupan senjata ke Gaza?
Kedua
Adalah jelas bahwa Israel memperlakukan Jalur Gaza dan faksi-faksi perlawanan di dalamnya sebagai layaknya sebuah negara besar yang mengancam keamanannya, yang memiliki kemampuan dahsyat kini dan mendatang, yang bisa menjadi tantangan eksistensial bagi negara Israel.
Ketiga
Mesin propaganda Israel secara masif mendramatisasi isu terowongan-terowongan Rafah. Hingga kini Tel Aviv terus melakukan kontak intensif dengan negara-negara besar dan Pemerintah Mesir demi memperkuat langkah-langkah keamanan dan mengimpor teknologi mutakhir guna melakukan misi ini. Maka sebenarnya, bila Israel adalah sang pemenang dan faksi-faksi perlawanan (dilukiskan sebagai) pecundang dan pihak yang kalah, mengapa pasukan Israel tidak tetap menduduki lintasan Shalahuddin yang dikenal dengan jalur Philadephia, dan mengatasi masalah penyelundupan ini tanpa meminta bantuan kepada pihak-pihak lain?
Keempat
Galibnya, perang dilakukan demi meraih tujuan-tujuan politik bagi mereka yang mengambil keputusan untuk melemparkan peluru pertama dan mengerahkan tentara untuk memasuki medannya. Lalu apa tujuan-tujuan politik yang telah diraih para petinggi politik Israel dalam agresi ini ? Ia sama sekali tidak mengubah dominasi dan mengganti kekuasaan Hamas di Gaza, tidak juga mampu menghentikan tembakan roket-roket ke arah negaranya, dan tidak pula berhasil menyerahkannya kepada para pejabat Palestina di Ramallah.
Kelima
Berdasarkan asumsi tersebut, mestinya porsi dan kontribusi pihak yang (mengaku) menang dalam agresi ini telah menghiasi survei-survei yang diadakan dua pekan menjelang pemilihan umum Israel yang berlangsung 10 Februari. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa porsi kelompok Kanan Israel pimpinan Benjamin Netanyahu yang tidak ikut dalam agresi atas Gaza malah melonjak (29 kursi hingga kini). Sedangkan porsi Partai Kadima pimpinan Menteri Luar Negeri Livni menurun hingga 26 kursi. Sementara Ehud Barak, Menteri Pertahanan Israel, hanya sibuk menghitung kursi-kursi yang tersisa untuk Partai Buruh pimpinannya akibat agresi ini. Sebaliknya, saat orang-orang Palestina sibuk menghitung jumlah korban gugur, indikator-indikator menegaskan adanya perubahan tak berarti dalam perjudian politiknya di dalam dan di luar Israel.
Yang ingin menetapkan Israel sebagai pihak pemenang adalah rezim-rezim yang disebut dengan “poros moderat”, bukan rakyat Palestina, masyarakat dunia Islam yang menjadi pemenang karena keteguhan faksi-faksi perlawanan, bukan jutaan massa di seluruh dunia yang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi solidaritas dengan warga Gaza sekaligus mengecam sikap diam para pemimpin mereka. Sikap ini menunjukkan adanya konspirasi andil rezim-rezim tersebut dalam agresi ini karena semuanya memiliki kepentingan yang sama dengan Israel, yaitu menumpas opsi perlawanan militer di tanah Palestina.
Kita mesti berterus terang bahwa faksi-faksi perlawanan dan para pejuang di Gaza tidak pernah berkata akan menaklukkan Tel Aviv, membebaskan Masjid Al Aqsa dan gereja-gereja Jerusalem yang dijajah. Namun apa yang dikatakannya dan menjadi slogannya adalah melawan setiap agresi Isarel dengan segala daya dan upaya. Inilah yang telah dilakukannya secara menakjubkan dan belum pernah ada sebelumnya sepanjang sejarah perang melawan pendudukan Israel , kecuali dalam pertempuran heroik di perkemahan Jenin saat melawan agresi Israel dengan tujuan yang sama pula.
Aksi perlawanan (muqawamah) ini merupakan sumber kegelisahan bersama rezim-rezim “moderat” Arab dan Israel, karena berlandaskan dua prinsip utama; pertama, kehendak dan dedikasi yang menopangnya. Sebagian besar rezim Arab tidak memiliki keduanya sekaligus. Karena itulah, semuanya berlindung ke Amerika Serikat dulu, dan ke Israel kini agar mewakili mereka dalam memerangi faksi-faksi perlawanan anti status quo di Palestina dan kelak di seluruh negara Arab dan Islam. Dengan kata lain, skenario agresi atas Gaza tidak hanya dirancang di Tel Aviv dan Washington, tapi juga di Kairo, Riyadh, Amman dan lainnya. (Opini Jawa Pos 04 Februari 2009)