SIKAP POLITIK DALAM PEMILU 2019

SIKAP POLITIK DALAM PEMILU 2019
Photo by Unsplash.com

Jelang Pemilu 2019 tensi politik makin meninggi. Banyak hal dan fenomena yang perlu disikapi secara bijak serta sejumlah pertanyaan seputar itu yang layak dijawab secara rasional.

Mengapa hampir seluruh atau sebagian besar kalangan Syiah Indonesia terkesan punya pilihan politik yang sama? Apakah ada semacam instruksi dari "elit Syiah" di Indonesia tentang pilihan politik dalam pemilu terutama pilpres? Apakah ada semacam deal dengan salah satu kontestan pemilu? Apa dasar kuat di balik kesamaan sikap politik itu? Inilah sebagian dari banyak pertanyaan yang mungkin mewakili penasaran banyak pihak terutama dari luar komunitas.

Ada pula pertanyaan yang lebih menukik misalnya, mengapa seakan memihak kontestan yang justru sering dicap kurang atau bahkan tidak "Islami"? Bukankah sebagai komunitas kecil yang sedang dan kerap mengalami intimidasi mestinya mereka bergabung dengan pihak yang mengklaim mewakili arus Islam dalam polarisasi politiik yang sengit ini?

Ada pula pertanyaan kritis yang sempat mencuat seperti bukankah pihak politik yang didukung secara faktual tidak menunjukkan upaya nyata merehabilitasi hak sebagian dari komunitas ini yang mengalami penganiayaan dan memberikan solusi adil?

Pertanyaan tajam lainnya seperti bukankah anasir intoleran pembenci mereka berada dalam dua kontestan?

Banyak pihak eksternal mengira komunitas ini sama dengan kelompok-kelompok militan yang dibentuk dengan sistem rekrutmen dan pembinaan intensif ala liqo berkala dan berjenjang sehingga setiap anggotanya terdata dan terdaftar serta pikiran dan perbuatannya terkendali.

Banyak yang membayangkan komunitas ini tercipta secara sistematis dan terencana seperti lazimnya gerakan atau aliran yang setiap anggotanya mendapatkan pengarahan dalam sebuah struktur komando yang dipatuhi.

Banyak pula yang mensejajarkan komunitas ini dengan aliran-aliran teologis baru seperti Wahabisme dan Ahmadiyah atau semacam gerakan eksklusif sepeti Ikhwanul Muslimin dan Hizbuttahrir yang punya agenda yang kerap dicap "transnasional" yang secara aktif memasarkan program-programnya.

Lucunya, karena tak menemukan fakta-fakta itu sebagian pembenci malah melukiskan komunitas ini "sulit ditembus" dengan ilustrasi "tertata rapi" dan ribuan batok kepala anggotanya bisa dikendaliikan ala robot sehingga terlihat di permukaan, tenang, indepeden dan adaptatif.

Komunitas ini di sini dan di manapun di planet bumi secara intelektual tunduk kepada logika, secara akidah terikat dengan prinsip-prinsip yang nembentuk bangunan mazhabnya, secara fikih terikat dengan taqlid kepada rujukannya masing-masing dan secara konstitusional terikat dengan dasar negara yang dihuninya. Dalam politik domestik yang relatif dan dinamis, komunitas ini terikat oleh data-data yang dipastikannya valid dan fakta-fakta yang ditemukannya serta kemaslahatan yang disimpulkannya sendiri-sendiri.

Pilihan politik setiap warga negara yang bermazhab Syiah tidak akan pernah diwakili oleh sikap politik seseorang seluas apapun jangkauan sebaran tulisannya atau popularitasnya dan tak diwakili oleh lembaga atau organisasi di dalamnya. Mazhab bukanlah pemilih, bukan warga negara manapun, bahkan bukan manusia yang bisa memilih. Hal itu karena pilihan politik merupakan bagian dari tugas identifikasi subjek hukum (spesifik, minor) sebagai taklif (tanggungjawab normatif) setiap individu (mukallaf) atas setiap pandangan, sikap dan tindakannya.

Tentu, mempertimbangkan pandangan mukallaf lain yang diyakini lebih kompeten, objektif dan bijak terutama memahami peta politik Indonesia untuk menentukan pilihan politiknya tidaklah dilarang, meski pemikul pertanggungjawaban moral dan legalnya adalah diri sendiri. Elit dan alit tak berlaku dalam komunitas yang menjadikan rasionalitas dan spiritualitas sebagai parameter kebenaran, kebaikan dan kemaslahatan ini.

Akhir kata, silakan memilihnya tanpa menghina yang menolaknya, dan silakan menolaknya tanpa menghujat yang mendukungnya. Damailah Indonesia kita semua!

Read more