SILENT MAJORITY

SILENT MAJORITY
Photo by Unsplash.com

Banyak orang gusar karena, menurut hasil sejumlah survei yang dilaksanakan lembaga independen dan kredibel, ekektabilitas incumbent yang didukungnya stagnan. Hasil survei itu mengungkap bahwa agamawan politikus yang dijadikan calon pendampingnya tak mendongkrak elektabilitasnya. Tim sukses incumbent mengakui hal itu seraya mengatakan bahwa penyebabnya adalah belum aktifnya safari kampanye calon pendamping di basis sosial dan kulturalnya. Tentu saja kubu penantang memberikan komentar negatif tentang itu. Polemik pun bergulir.

Terlepas dari penyebab real stagnansi elektabilitas incumbent, yang pasti, calon kuat pendampingnya diganti dengan seorang agamawan dengan harapan mendongkrak elektabilitasnya di tengan masyarakat relijius, sekaligus menepis tuduhan anti Islam dan PKI.

Mungkin penyebab tak meningkatnya elektabilitas incumbent bukanlah menguatnya elektabilitas penantang dan pendampingnya, tapi justru karena gamangnya elemen besar yang tak terlihat aktif ikut berpolemik seputar pemilu. Mereka terlanjur mencurigai relijiusitas yang heboh sekaligus menolak irrelijiusitas yang lebay. Mereka mengecam politisasi agama juga tak mendukung reaksi serupa dari pihak yang menjadi kampanye politik berkedoak agama. Mereka beragama tapi menolak fanatisme, menghormati simbol tapi menentang eksploitasinya. Mereka adalah menjunjung nasionalisme tapi membenci fasisme dan rasialisme. Mereka adalah silent majority. Mereka banyak tapi tak punya uniform. Mereka membaca, mengamati, mengevaluasi lalu dan menentukan pilihan dengan argumen, bukan pemihakan taken for granted. Merekalah silent majority.

Langkah incumbent menampilkan relijiusitas justru membuat mereka sedikit kecewa meski tetap tak memindahkan dukungan ke kubu penantang. Sejak semula mereka sudah memantapkan pilihan politik untuk incumbent meski tak jadi relawan yang dimobilisasi karena menganggap sikap moderatnya dalam beragama mendahului kinerja dan pesona profilnya sebagai alasan penentuan pilihan politik.

Namun realitas politik yang tak benar-benar bersih dan transparan menggeser idealitas dan menggantinya dengan kompromi. Itulah yang sering kali menjadikan suara jernih para pendukung di luar koor elit tertelan hiruk pikuk kampanye. Sayangnya, aspirasi dan keluhan warga yang tak terhimpun dalam institusi-institusi formal bukanlah salah satu bahan pertimbangan. Kalaupun mereka tetap mempertahankan pilihan politiknya, maka itu bukan karena fakta, tapi karena harapan.

Mereka ingin kampanye pemilu menjadi lomba konsep dan program, bukan lomba pamer kemampuan ngaji atau adu kefasihan azan ala Pildacil.

Read more