SIMPLE AND COMPLEX: SEBUAH ILUSTRASI PARADOKS EPISTEMOLOGIS

SIMPLE AND COMPLEX: SEBUAH ILUSTRASI PARADOKS EPISTEMOLOGIS

Agus adalah tipe orang yang berpikir simple dan cenderung meremehkan teori bahkan tak jarang mencemooh analisa dan segala pernyataan ilmiah dengan menyebutnya ruwet, lebay, sok ilmiah, sok filosofis, tidak aplikatif, tidak praktis dan ucapan-ucapan senada..

Suatu hari setelah menerima gaji awal bulan Agus mengambil keputusan membeli sebuah alat elektronik merek ternama yang belakangan ini diiklankan secara gencar di televisi.

Sesampainya di toko khusus barang elektronik itu, Agus langsung menemui pegawai dan menyebut merek barang yang diinginkannya. Saking bersemangatnya karena pengaruh iklannya yang menarik, Agus tidak menanyakan harganya. Ia hanya menyuruh pegawai itu mengemasnya. Namun penjual itu menawarkan kepada Agus memeriksa barang itu untuk memastikan pembeli tidak salah beli. Saat petugas hendak membuka kardus untuk memperlihatkan segel, Agus menolak. “Saya sudah tahu. Anda tidak perlu membuktikan keasliannya. Saya tidak punya waktu banyak,” ujarnya tenang.

Selanjutnya, sesuai prosedur pelayanan konsumen, pegawai itu minta izin untuk menjelaskan cara penggunaan dan fitur-fitur barang itu. Lagi-lagi Agus menolak tawaran itu. “Anda tidak perlu menghabiskan waktu untuk menjelaskan cara menggunakan barang ini. Saya punya banyak alat elektronik. Saya cukup mengerti soal itu.

Ketika mendapatkan keterangan harganya, Agus mengurungkan niatnya membelinya dengan uang kontan yang telah dipersiapkannya. Agus terpaksa membelinya dengan kartu kredit. Saat pegawai itu baru membuka mulut untuk menjelaskan sistem angsuran dan bunganya, Agus yang mulai tidak betah di toko itu menyela, “Mas, tolong Anda gesek kartu kredit ini secepatnya. Saya tidak merasa perlu diajari tentang sistem pembayaran angsuran dan persentase bunganya, karena saya sudah terbiasa dengan transaksi non tunai.

Agus benar-benar kehilangan kesabaran saat pegawai itu mulai memberikan penjelasan tentang garansi dan detail sistem perbaikan dan ganti barang. Dia kali ini dengan suara bernada agak tinggi, Agus memohon pegawai itu berhenti melanjutkan penjelasannya. “Jangan menggurui saya soal komplain. Saya tahu syarat-syarat mendapatkan garansi karena saya sering membeli barang-barang elektronik,” sergahnya

“Ok, kalau begitu. Mohon maaf, Pak. Saya hanya melaksanakan tugas sebagai pegawai untuk melayani pembeli,” ucap pegawai itu sopan.

Agus pun membawa barangnya. Sesampainya di rumahnya, Agus langsung menghubungkan kabelnya ke listrik lalu menekan tombol powernya.

Televisi baru itu langsung menyala. Tapi bukan gambar yang muncul tapi kembang api di belakangnya. Beberapa detik kemudian padam.

Agus urung gembira. Ia kaget. Tak lama kemudian ia menelepon toko. Pegawai yang tadi melayaninya mengangkat.

“Ada yang bisa kami bantu?” tanyanya ramah.

“Begini. Saya komplain karena barang yang Anda jual itu barang rusak.”

“Tidak mungkin pak. Kami bermaksud menunjukkan segelnya sebagai bukti, tapi Bapak menolak saat kami akan membuka kardusnya.”

“Ya sudahlah. Saya minta diganti. Kan ada garansinya.”

“Nah itu masalahnya, Pak. Sebenarnya kami juga bermaksud menjelaskan tentang syarat-syarat garansi termasuk bila barang yang dibeli itu rusak karena pemakaian konsumen, pihak penjual tidak memberikan garansi penggantian barang.”

“Jadi, bagaimana mas?”

“Yah, kami sangat menyesal tidak bisa memenuhi keinginan Bapak.”

“Hah?!!!”

Orang Sederhana

Budi adalah tipe manusia yang rela berpikir rumit, telaten mencari argumen dan tidak mudah puas dengan retorika tanpa logika.

Suatu hari Budi hendak membeli alat elektronik. Sebelum memustukan untuk membeli, dia mengumpulkan data-data spesifikasi beragam merek dari intenet dan beberapa toko yang menjualnya serta membandingkan harganya masing-masing.

Setelah melakukan itu semua, Budi mengambil keputusan untuk membelinya.

Tanpa menunggu tawaran pegawai toko, Budi minta penjelasan rinci tentang cara penggunaan dan fitur-fiturnya.

Kali ini pegawai itu yang kesal karena, setelah cukup lama menjelaskan itu, Budi minta diberi penjelasan tentang garansi dan syarat-syaratnya.

Tidak cukup sampai di situ. Budi minta penjelasan tentang sistem pembayaran tunai dan kredit serta perbandingan persentase bunga sejumlah bank.

Pegawai itu masih harus melakukan satu permintaannya lagi, yaitu memperlihatkan segel dan bukti keaslian barang yang dibelinya.

Penjual merasa lega setelah Budi tidak mengajukan pertanyaan atau permintaan tambahan. Setelah melakukan transaksi, Budi keluar dari toko sembari membawa televisi yang baru dibelinya.

Sesampai di rumahnya, Budi melakukan semua saran pegawai toko. Selanjutnya dia bisa menikmati barang elektronik dan fitur-fiturnya.

Ruwet dan Sederhana

Kata “ruwet” umum dipadankan dengan kata “rumit” atau “kusut”. Dalam komunikasi sehari-hari, “ruwet” cenderung dikonotasikan negatif karena asosiatif dengan kegagalan, kerugian, stress, dan depresi. Sementara lawan katanya adalah sederhana atau simpel. Dalam wawasan umum, termasuk bahkan dalam ontologi, mistisisme (irfan), dan akhlak, kata itu cenderung bermuatan positif. Apalagi frasa sederhana yang kerap dipahami “tidak mewah” bahkan “apa adanya” sehingga identik dengan kerendahan hati dan kejujuran.

Sebaliknya, dalam linguistik modern, terlebih di ranah logika dan sains, kata rumit atau komplek malah bertendensi sangat positif dan bonafid. Sinonimnya adalah kompleks dan canggih alias sophisticated.

Kesederhanaan pun kerap dikesankan sebagai kenaifan. Bila dimaksudkan sebagai suasana hati , maka kenaifan dikategorikan sebagai baik. Tapi akan menjadi buruk jika terkait dengan aktivitas akal atau mental.

Begitu pula dengan “mewah”. Dalam kategori kebendaan, “mewah” lazim dilekatkan dengan kesombongan, maka buruk. Namun, mewah dalam kategori konsep justru baik.

Orang yang sederhana dalam berpikir pada umumnya justru rumit dalam bertindak. Sebaliknya, orang yang rumit dalam berpikir biasanya sangat sederhana dan bersahaja dalam bertindak.

Orang yang begitu betah dalam pikiran sederhana biasanya merasa gatal untuk meremehkan pikiran-pikiran rumit yang runut dan mendetail. Namun, saat terbentur kenyataan dirinya tak tahu beluk implementasi suatu rencana atau konsep, ia pun selebor dan berbuat serampangan. Kepalang basah, saat diingatkan, ia pun berdalih dengan idiom “learning by doing: atau “trial and error”.

Rata-rata orang dan orang rata-rata cenderung menolak info atau ajaran yang tak diketahui atau tak diyakininya. Namun di saat yang sama, ia juga suka menyimak berulang kali info atau ajaran yang telah diketahui atau diyakininya. Baik penolakan maupun pengulangan itu umumnya bukan disebabkan validitas dan kekuatan argumennya. Namun lebih dikarenakan itulah info yang pertama kali mengisi benaknya.

Orang yang sengaja menghindari pikiran rumit dan memilih berpikir sederhana mengira bahwa pikiran sederhana membuahkan tindakan yang juga sederhana. Padahal pikiran yang rumit justru membekalinya detail pengetahuan sehingga implementasinya menjadi begitu sederhana.

Banyak kalangan yang sudah terlanjur tenggelam dalam suatu pandangan atau ajaran berusaha menghindari konsekuensi praktisnya (yang menjadi beban dengan beragam risikonya). Akibatnya, mereka terjebak dalam labirin romantisme what dan why tanpa pernah beringsut kepada how.

Sementara, sebagian pihak yang terbiasa berpikir sederhana, beranggapan bahwa kebenaran suatu pandangan atau ajaran bukan ditentukan oleh validitas argumentasinya, melainkan ditentukan oleh kemudahannya untuk dipahami pikirannya sendiri yang sederhana. Kadang menjadikan kesan personal tentang figur atau animo besar publik alias viral sebagai parameter.

Sebagian orang yang terbiasa dimanjakan oleh pikiran-pikiran sederhana juga cenderung menolak pikiran rumit yang memerlukan proses inteleksi sistematis. Mereka bahkan kerap mencemoohnya sebagai “ruwet” dan muluk-muluk. Semua itu tak lain demi mempertahankan zona nyaman berupa pikiran sederhana.

Orang yang pikirannya sudah terkurung dalam sangkar berpikir sederhana cenderung menggantikan prosedur berpikir rumit terkait keapaan (whatness) dengan kesiapaan (whoness) yang hanya membutuhkan telinga dan otak yang reseptif alias taken for gtanted.

Kelakuan orang yang terbiasa berpikir sederhana juga tak kalah menggelikan. Ia sangat memahami ketidakmampuannya berpikir rumit itu adalah sebuah cacat intelektual. Maka, ia pun tak ingin kekurangannya itu diketahui pihak lain. Modusnya adalah berperilaku ganjil demi mengalihkan perhatian khalayak dari kegembelan berpikirnya. Semisal, mengarang dusta yang njlimet seputar pengalaman supranatural di balik pikirannya yang cacat.

Mohon dicatat: membangun prinsip hidup di atas pikiran-pikiran hasil jalan pintas atau potong kompas, seperti minta saran dukun terkait masalah medis atau belajar agama dari oknum-oknum yang mengajarkan agama lewat caci-maki, fitnah hingga persekusi pihak lain, bukanlah alternatif sama sekali. Justru upaya tersebut hanya akan melahirkan persoalan-persoalan baru yang lebih kompleks sekaligus memerangkap para pelaku hingga pengikutnya dalam labirin keruwetan tanpa akhir.

Read more