Diberitakan bahwa netizen Indonesia didapuk sebagai negara dengan tingkat kesopanan pengguna internet terendah di Asia Tenggara. Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Ini tentu kontradiktif dengan label Indonesia memiliki budaya ketimuran yang menjunjung tinggi norma kesopanan.
Terlepas dari itu, banyak orang tertular syndrome takut ketinggalan arus trendy yang lazim disebut FOMO (Fear of Missing Out). Banyak orang mengalami disrubsi atau jungkir balik total dalam hidup mulai gaya hidup hingga pandangan tentang nilai dan norma. Para pengidapnya seolah “hijrah” dan eksodus dari dunia yang membentang luas dengan debu dan basahnya ke sebuah ponsel.
Karena dunia virtual telah menjadi dunia nyata baginya, diakui, disuka dan dipuji menjadi tujuan final. Demi memperoleh pengakuan itu, segala macam cara ditempuh, termasuk berdusta dan menjiplak, juga mengkritik, mengecam dan membully siapapun dan apapun yang tak disuka, tak peduli benar atau salah dan berefek positif atau negatif.
Akibat FOMO pengguna sosmed yang semula tertutup mendadak agresif, yang asli pemalu sontak jadi ganjen, yang minder malah kelewat “pede” dan berandal di lingkungan kampungnya malah terlihat wise and smart bisa bicara dan menyikapi apapun.
Sebagian lagi, karena menganggap pihak lain hanyalah algoritma, aplikasi, akun, monitor dan keyboard, bukan manusia berperasaan, kehilangan tenggang rasa, toleransi dan empati yang diekspresikan berupa kata yang diujar dan ditulis dalam tulisan, konten, komentar dan sebagainya. Kata kasar, cemooh, dan sumpah serapah seolah menjadi bahasa lumrah, bahkan dikesankan jujur, elegan, berani dan patriot. Di situlah seolah yang terpenting adalah click and share!