Namanya unik. Konon itu salah satu ciri orang besar. Pria kelahiran 4 Maret 1955 ini adalah satu dari sejumlah tokoh nasional yang mengharumkan nama Indonesia di dunia, terutama dalam forum intelektual dan keislaman kontemporer.
Di negeri ini jumlah cendekiawan dan ilmuwan serta guru besar sangat banyak, tapi yang egaliter alias tak jaim, rendah hati alias mau menghargai siapapun, dan super toleran alias berani pasang badan melawan gelombang takfirisme adalah sangat langka. Tak peduli dampak terhadap karir akademik dan posisi terhormatnya di tengah publik, dia berhasil dengan gemilang menorehkan namanya dalam prasasti toleransi sejati tanpa tebang pilih, memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dalam konteks kemanusiaan, kemusliman dan keindonesiaan dengan pikiran yang bernas dan sikap yang tegas.
“Anda jangan minder mengaku sebagai Muslim Syiah,” tegasnya saat memimpin sidang promosi doktor seorang mahasiswa di Aula Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah. “Perguruan tinggi justru bangga telah mencetak banyak cendekiawan dari aneka mazhab Islam,” lanjutnya.
Sehari setelah menjadi doktor, mahasiswa itu mengirim pesan singkat berisikan terimakasih. “You deserve it,” balasnya singkat. Lagi-lagi dia menginjeksikan nutrisi optimisme dan energi positif yang luar biasa.
Ketika banyak tokoh yang dikenal toleran dan pemerintah dan ormas justru tak memberikan respon selaras dengan narasi kebhinnekaan, apalagi membalas surat permohonan izin silaturahmi, Azyumardi Azra dengan senang hati memenuhi undangan seminar bertema kebangsaan komunitas yang divonis sesat oleh banyak agamawan dan diabaikan oleh banyak cendekiawan.
Beberapa waktu lalu doktor lulusan Columbia University ini selaku Ketua Dewan Pers menerima kunjungan rombongan Pengurus Pusat Ahlulbait Indonesia dan menyambut mereka dengan hangat dan antusiasme tulus.
Sebagai seorang intelektual open minded, ia sulit diasosiasikan dengan ormas dan partai serta simpul sosial di tengah masyarakat. Impersonalitasnya mengalahkan personalitasnya. Dia sudah selesai dengan dirinya.
Kepergiannya ke haribaan Allah Maha Hidup adalah kehilangan besar, dan mengesakkan dada mereka yang masih menantikan opini dan pernyataan-pernyataannya yang mencerminkan kecintaannya kepada bangsa yang majemuk ini.
Bila orang istimewa pergi, dia membawa bersamanya sebagian jiwa orang-orang yang merasa kehilangan.
Selamat jalan, Prof…