Dana hasil korupsi sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum) Depkumham yang tengah disidik Kejagung, ternyata mengalir sampai jauh, sampai ke jaksa di Kejagung. Kok, bisa?
Ini cerita Jampidsus Marwan Effendi, kepada wartawan kemarin di Jakarta. Marwan mengatakan, kebetulan ada jaksa yang ikut rapat koordinasi antar instansi, dan menerima uang sekian juta.
“Oknum jaksa itu tidak menyadari, jika uang itu merupakan uang sisminbakum, karena mengira uang itu merupakan uang insentif dari diskusi,” ujarnya.
Soalnya sudah golib dalam penyelenggaraan rapat yang menggunakan instansi lain, ada yang namanya insentif, anggarannya diambil dari uang PT SRD. “Jadi uang 10 persen untuk koperasi, bersifat multifungsi,” katanya.
Nah, dana 10 persen sisminbakum itu juga digunakan untuk perjalanan ke luar negeri. Di dalam pengeluaran sepuluh persen, tidak hanya dinikmati oleh pejabat Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU), tetapi juga pihak luar, misalnya keluarga dan istri pejabat. “Pemanggilan istri pejabat itu, sudah dilayangkan,” katanya.
Jadi rumusan deliknya, menurut dia, untuk dana menguntungkan diri sendiri orang lain dan satu badan, sudah terbukti. “Andaikata penggunaan dana sisminbakum itu benar, maka penggunaannya salah,” katanya.
Dalam kasus sisminbakum yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp400 miliar itu, Kejagung sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni, Zulkarnain Yunus dan Romli Atmasasmita (mantan Dirjen AHU) serta Syamsuddin Manan Sinaga (Dirjen AHU).
Syamsuddin Manan Sinaga sudah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan dan Romli Atmasasmita di Rutan Salemba cabang Kejagung.
Untuk tersangka Zulkarnain Yunus sudah diesekusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus alat pemindai jari (AFIS), setelah pengajuan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Kejagung sendiri akan memanggil mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, sebagai saksi kasus dugaan korupsi pada sisminbakum di departemen tersebut pada Selasa (18/11).
Kasus itu bermula sejak tahun 2001 sampai sekarang, Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Ditjen AHU, telah diberlakukan dan dapat diakses melalui website www.sisminbakum.com.
Dalam website itu telah ditetapkan biaya akses fee dan biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Biaya akses fee itu dikenakan untuk pelayanan jasa pemerintah berupa pemesanan nama perusahaan, pendirian dan perubahan badan hukum dan sebagainya.
Namun biaya akses fee itu tidak masuk ke rekening kas negara melainkan masuk ke rekening PT SRD dan dana tersebut dimanfaatkan oleh oknum pejabat Depkumham.
Permohonan perhari melalui sisminbakum yang dilakukan notaris seluruh Indonesia, adalah, kurang lebih 200 permohonan dengan biaya minimal Rp1.350.000 dengan pemasukkan perbulan sebelum 2007 di bawah sekitar Rp5 miliar dan setelah 2007 sekitar Rp9 miliar.
Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) sebenarnya adalah sistem yang baik. Hal ini diakui salah satu notaris, Zulfiah Tenri Abeng. Ia mengatakan, sebagai sebuah sistem, Sisminbakum lebih cepat dan efisien dalam mengurus administrasi badan hukum.
Cepatnya pengurusan, Zulfiah menuturkan, mulai pengurusan administrasi hingga terbitnya surat keputusan menteri, hanya dibutuhkan 1,5 bulan.
Perinciannya, memasukkan permohonan sampai keluar, tidak keberatan menteri membutuhkan waktu satu bulan. Selanjutnya, memasukkan data fisik hingga keluar surat keputusan menteri membutuhkan dua sampai tiga minggu. ”Kalau manual lebih lama. Sampai tiga bulan,” imbuh dia.
Selain lebih cepat dan efisien, sistem ini juga memudahkan notaris mengontrol proses administrasi yang sedang berjalan. ”Kita bisa kontrol sampai di mana atau posisi prosesnya. Kita juga bisa ketahui kesalahan, sehingga bisa langsung diperbaiki,” paparnya.
Karena ditunjang dengan teknologi informasi, dana yang dikeluarkan untuk pengurusan administrasi pun menjadi bertambah. Jika pengurusan secara manual hanya dikenakan biaya PNBP sebesar Rp 200 ribu dan biaya percetakan. Selain biaya tersebut, pengurusan masih dikenakan biaya akses. PT RSD mulai membebankan biaya akses (acces fee) ketika dilakukan pengurusan administrasi. Zulfiah melanjutkan, terdapat dua pengurusan administrasi. Yaitu, administrasi bersifat persetujuan dan administrasi pemberitahuan. ”Yang membutuhkan surat keputusan persetujuan menteri inilah yang dikenakan biaya akses. Sementara, yang bersifat pemberitahuan, seperti perubahan susunan komisaris, tidak dikenakan biaya akses,” terang Zulfiah.
Pengurusan administrasi yang dikenakan biaya akses, untuk pengecekan nama Rp 380 ribu per nama. Selain itu, pengenaan biaya akses lain di antaranya untuk perubahan nama, tempat kedudukan, dan modal. Besaran biaya yang dikenakan bervariasi, yaitu Rp 1,1 juta sampai Rp 1,2 juta.
Namun sayangnya, karena keterbatasan biaya, sistem ini melibatkan kerja sama dan investasi pihak swasta.
Sisminbakum diberlakukan didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM tahun 2000. Dalam Keputusan itu disebutkan bahwa Sisminbakum adalah penerapan prosedur permohonan pengesahan Perseroan Terbatas dengan menggunakan komputer atau dengan fasilitas homepage/web site.
Anggota Sisminbakum adalah notaris, konsultan hukum, dan pihak lain yang telah memiliki kode password tertentu dan telah memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan.
Adapun alasan diterapkannya Sisminbakum adalah untuk mengatasi lambannya permohonan perizinan, banyaknya permohonan perizinan yang menumpuk karena dikerjakan secara manual.
Namun, karena pada saat itu keuangan negara terbatas, sehingga tidak dimungkinkan menyediakan dana melalui APBN untuk keperluan pembangunan Sisminbakum.
Kemudian, ditunjuklah pengelola pelaksana Sisminbakum itu, yaitu KPPDK. Atas alasan itulah KPPDK bekerja sama dengan PT Sarana Rekatama Dinamika (PT SRD). PT SRD yang membangun Sisminbakum (modal). Selanjutnya, diadakan perjanjian kerja sama antara Ditjen AHU dengan KPPDK tentang pembagian akses fee Sisminbakum.
Dalam perjanjian antara KPPDK dengan PT SRD disebutkan bahwa KPPDK menerima setiap akses fee sebesar 10 persen, sedangkan PT SRD memperoleh 90 persen untuk jangka waktu tujuh tahun dua bulan.
Sedangkan, berdasarkan perjanjian antara Ditjen AHU dengan KPPDK disebutkan bahwa Ditjen AHU memperoleh 60 persen dan KPPDK memperoleh 40 persen. Penetapan hasil tersebut diperoleh dari biaya akses fee yang diterima oleh KPPDK dari perjanjian antara KPPDK dengan PT SRD. nap/ant