SOAL PENYUSUNAN AL-QURAN

SOAL PENYUSUNAN AL-QURAN
Photo by Unsplash.com

Seorang teman meminta tanggapan saya tentang pandangan kritis seputar pengumpulan Al-Quran yang dilontarkan oleh seorang cendekiawan muda yang mengutip seorang pemikir Islam kontemporer di Mesir. Karena itu problem internal kalangan Sunni, saya memilih no comment.

Pendapat yang mengkritisi info sejarah Al-Quran menjadi kontroversial dalam masyarakat yang sejak semula mengira salah satu versi sejarah pengumpulan Al-Quran sebagai bagian dari iman kepada Al-Quran.

Bagi kalangan Syiah isu ini bukan hal baru. Beberapa ulama mutakhir Syiah, seperti Al-Khui dalam Al-Bayan karya Al-Khui dan Hadi Ma'rifat dalam At-Tamhid telah membahas isu ini.

Meski kalangan Syiah punya pandangan khas tentang pengumpulan dan pembukuan Al-Quran, namun mereka saat ini enggan membincangkannya karena sejumlah pertimbangan. Tidak membahasnya saja, sudah ditiuduh menganggap Al-Quran tidak otentik, apalagi menggugat opini mainstream.

Bila yang membahas dan mempersoalkan rasionalitas info sejarah pengumpulan dan pembukuan Al-Quran adalah kalangan sunni sendiri meski dianggap liberal, tidak dipersoalkan, bahkan diapresiasi oleh sebagian sunni moderat sebagai gagasan cerdas dan kritis.

Isu tentang penyusunan dan pencatatan Al-Qur’an serta penyusunannya sebagai mushaf di kalangan Syiah dibagi dalam dua tahap:

Tahap pertama: Pengumpulan, pengorganisasian dan pengaturan ayat-ayat dalam surah-surah dalam nomor masing-masing, seperti yang terjadi sekarang. Ini disepakati.

Tahap kedua: mengumpulkan surah-surah dan menyusunnya dalam bentuk salinan Al-Qur’an yang disusun di antara dua kitab seperti yang ada sekarang. Inilah yang dipersilihkan.

Pendapat pertama:

Penyusunan Al-Quran terjadi setelah wafat Nabi SAW, namun surah-surah telah tersusun secara lengkap dengan nomer ayat serta nama-namanya, tetapi pengumpulannya di antara dua sampul sebagai satu naskah kitab terjadi wafat beliau

Inilah yang dikemukan oleh Tabatabai. Menurutnya, penyusunan Al-Qur'an dan kompilasinya menjadi satu Mushaf hanya setelah wafatnya Nabi, SAW, dan dia menekankan bahwa pengaturan surah-surah seperti sekarang terjadi pada masa para sahabat. (Tafsir Al-Mizan, Vol.12, hal.124, dan Vol.3, hal.78). Pendapat ini dipilih oleh beberapa ulama, antara lain adalah Syekh Muhammad Hadi Ma'rifah, yang menguraikan persoalan pembuktian pernyataan tersebut dalam Al-Tamhid fi Ulum Al-Qur’an, vol.1, hal.285

Pendapat kedua:

Penyusunan Al-Qur'an seperti saat ini terjadi selama masa hidup Nabi. Di antara yang berpendapat demikian adalah Sayyid Murtadha Alam Al-Huda. Dia menyimpulkan bahwa Al-Qur'an diajarkan dan dihafal secara keseluruhan pada saat itu sampai Nabi SAW menunjuk sekelompok sahabat untuk menghafalnya dan dibacakan di hadapannya. (Majma' Al-Bayan, vol.1, hal.15).Di antara yang menganut pandangan ini adalah Sayyid Abu al-Qasim al-Khui dalam Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, hal.237.

Terlepas dari itu, kitab yang berada di tangan umat Islam saat ini disepakati sebagai mushaf. Mempermasalahkannya justru bisa membuat umat Muslim kian jauh dari Al-Quran dan bisa membuat sebagian non Muslim meremehkannya. Yang lebih penting dari mempolemikkanya adalah menggali kandungannya dan mencari terapan yang relevan dalam konteks kontemporer.

"Kamilah yang mengumpulkannya dan membuatnya sebagai bacaan." (QS. Al-Qiyamah : 17)

Read more