Skip to main content

Situasi saat ini bisa dianalogikan dengan ilustrasi sebagai berikut:

Seseorang tiba-tiba jatuh dan tak mampu berbicara karena menahan nyeri akibat sakit ringan seperti sesak atau maag.

Namun karena banyak orang mengerumuninya sesaknya bertambah, dan karena setiap orang berlagak paling paham cara melakukan penyelamatan, terjadi kegaduhan, dan raut wajah orang yang sakit ditanggapi dengan aneka tafsir.

Yang paling sotoy biasanya teriak, “ajari bersyahadat! Dia naza’!”. Lainnya berspekulasi “Dia terkena sihir”. Teriakan-teriakan ngawur itu makin memupuskan semangat hidup orang yang berjuang bernapas. Suara irihnya “saya hanya perlu ruang bernapas” tertelan bising para sotoyer.

Beberapa menit kemudian sotoyer lain yang entah kapan asal muasalnya disebut ustadz, sekonyong-konyong baca yasin dengan suara lantang. Hadirin pun mengikutinya.

Orang yang terbujur lunglai itu disuguhi paduan surah yasin. “Ini supaya dia tidak tersiksa saat sekarat”. Ustadz itu melarang anak muda yang hendak memanggil dokter. “Ini bukan sakit. Ini sudah ajal,” ujarnya dengan nada setengah berbisik dan matanya menyorot ke atap seakan sedang membaca private message dari angkasa.

Napasnya makin berat. Ruangan makin padat. Udara makin pengap. Kausalitas berlaku. Kebodohan kolektif dan kesotoyan massal telah mengakhiri hidup lelaki naas itu.