Ketika ratusan narasi yang berupaya menghapua eksistensi sosial, moral, kultural, historikal, geneaologilkal dan konstitusional menggempur komunitas Baaalwi di Indonesia yang dipersiapkan sebagai musuh dengan dalih beberapa gelintir oknumnya yang berperilaku negatif, undang-undang dan hukum etika komunikasi dan informasi seolah diliburkan.
Gempuran narasi itu menciptakan dilema. Membantah tuduhan-tuduhan, diserang dan diframing membela para oknum negatif bahkan dia mempertahankan klaim nasab demi mencari nafkah. Mengabaikannya, dicibir sebagai tak berdaya menepis tuduhan-tudunan.
Sejak 3 bulan terakhir banyak konten kreator debutan mengais laba dari bisnis kebencian dalam languange game dan post truth berebut algoritma “nasab Baalawi” dengan aneka judul vulgar yang merangsang clikck bait. Platform media sosial Youtube dan Tik Tok seolah menjadi ladang holocaust tanpa jeda. Sedemikian masifnya serangan itu, hingga beberapa tokoh yang dikenal pembela toleransi dan Pancasila ikut menyumbangkan narasi dalam pesta monotezing itu.
Bom teror opini itu tak menyisakan secuil harapan dalam benak komunitas yang telah dianugerahi sederet stigma kotot (penipu, pemalsu nasab, pengkhianat, pelaku perbudakan, antek penjajah, penjajah, imigran tak rahu diri, penjual agama, pendatang yang congkak dan, yang paling kolosal, keturunan Yahudi.
Di tengah atmosfer yang bising itu seorang pemuda dari luar komunitas terpanggil oleh spirit humanitas par excellence untuk mencampakkan rasa takut dan mengambil semua risiko berat dengan tampil dengan tuturan tenang dan santun namun penuh percaya diri melontar kritik ampuh dan bantahan jitu serta membangun piramida argumen yang kokoh.
Pelan tapi pasti, karena bebas bias kepentingan personal dam komunal serta tunduk kepada kejujuran dan objektivitas maksimum, dan berkat doa para alawi yang tak sedektikpun menikmati nasab dan klaim kedzurriyyah sebagai modus cari makan, keadaan mulai berbalik.
Banyak santri (pelajar agama dalam lingkungan pendidikan klasik) yang mumpuni dalam kajian turats. Banyak pula intelektual atau akademisi Muslim yang menguasai literatur modern. Tapi mungkin tak banyak yang sukses mengawinkan dua khazanah keilmuwan itu. Lebih sedikit lagi, yang mempertahankan egaliterianisme sekaligus independensi dan kritisisme. Dia tidak sedang memihak salah satu dari dua kelompok pro dan kontra. Dia sedang berjuang mempertahankan citra santun, toleran dan pemaaf bangsa ini. Dia pun sukses melakukannya.
Semoga Allah mengganti semua pengorbanannya dengan anugerah kebahagiaan di dunia dan akhirat untuknya, keluarga dan semua yang punya empati seperti dia.
Saya tak perlu menyebut namanya agar dia tak merasa canggung karena karakter otentiknya sebagai pemuda cerdas dan cinta keadilan tak menyukai pujian.