Skip to main content

Masuk WAG keluarga, isinya ceramah agama.
Masuk WAG alumni, isinya ceramah agama.
Masuk WAG komunitas profesi, isinya ceramah agama.
Semua akan jadi penceramah pada saatnya.

Paragraf di atas memang lucu tapi ia mengungkap fakta ironik

Sains diterima karena punya asas kompetensi. Negara dipatuhi karena punya asas legitimasi. Agama dalam fakta sosial tak berwibawa dan tak mempesona karena seolah tak punya dua asas itu. Ia laksana kotak saran. Siapa saja merasa berhak menafsirkan dan membicarakannya.

Ia bisa dianggap gagal membentuk masyarakat yang menerapkan ajarannya sebagai norma umum dan sistem sosial, karena setiap penganut memahami ajarannya dengan persepsi masing-masing dan interpretasi kelompok dan aliran sebagai referensimya. Jumlahnya sebanyak persepsi penganutnya.

Mungkin sebagian orang terperanjat atau menentang judul di atas. Itu bisa dimaklumi karena mengajak orang lain kepada ‘kebenaran’ diyakini oleh hampir semua orang yang merasa mencintai agama dan alirannya sebagai kebaikan dan kesalehan bahkan kewajiban. Dengan bekal sebuah teks yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, “Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat,” menyebarkan tulisan atau info yang dianggapnya baik dan berguna menjadi kegiatan rutin banyak orang.

Di era sekarang mungkin setengah dari event bertajuk dakwah, tablig dan sejenisnya lebih pas dianggap sebagI kegiatan politik dan bisnis termasuk bisnis konflik sektarian.

Istilah Dakwah dan Tablig

Dakwah (da’wah) secara etimologis adalah kata serapan Arab (دعوة) berasal dari kata kerja lampau (fi’l madhi) da’a (دعا، بدعو) dengan dua arti mengundang atau mengajak bila objeknya setara dengan kata dasar da’wah (دعوة) dengan arti berdoa (menyeru) bila objek lebih mulia (Tuhan) dengan kata dasar du’a (دعاء). Ada beberapa kata Indonesia serapan Arab serumpun dengan da’wah dan du’a meskipun berdakwah, antar lain dakwaan yang terserap dari da’wa tanpa ta’ di akhir kata (دعوى).

Dakwah secara terminologis adalah aktivitas tertentu yang dilakukan oleh pihak tertentu (subjek personal atau komunal) yang bertujuan mengajak pihak lain (objek personal dan komunal) untuk menerima pendapat, mendukung gagasan, memeluk keyakinan, mengikuti sebuah anutan dan bergabung dalam kelompok dengan cara tertentu dan sarana tertentu.

Dakwah juga serumpun dengan tablig. Tampaknya banyak orang menganggap kata atau istilah tablig sama searti dengan dakwah. Padahal bila diperhatikan, keduanya berlainan secara etimologis dan terminologis

Tablig adalah kata serapan Arab yang berasal dari بلغ
(balagha) berarti sampai dan بلغ (ballagha)
berarti menyampaikan. Karenanya, mubalig berarti penyampai dan da’i berarti pengajak atau penyeru.

Pendakwah kompeten dan mubalig bijak melakukan dakwah dengan memilih materi, format, cara dan sarana dakwah berdasarkan asas urgensi isu, bukan semata-mata karena memenuhi kehendak sasaran dakwah atau khalayak yang sangat mungkin tidak memahami skala dan urutan urgensi dan karena sangat mungkin terdiri ragam tingkat kecerdasan, kecenderungan mindset dan sebagainya meski harus berusaha mencari metode dan pendekatan yang sesuai kekhasan dan kapasitas objek.

Materi yang didakwahkan adalah pikiran-pikiran yang diungkap dalam simbol kata tertulis atau tetucap atau terbayang dengan ragam bentuknya. Karena itu, dakwah dapat didefinisikan sebagai akrivitas penyampaian pikiran demi mengajak pihak lain untuk menerima dan memilih pikiran yang disampaikan karena dianggap benar, baik, bermanfaat dan sebagainya. Dengan kata lain, materi yang didakwahkan harus terangkai secara sistematis dari apa, mengapa, kenapa, bagaimana dan seterusnya.

Saat disampaikan dan didakwah materi (pikiran) harus dikemas dalam sebuah pikiran yang terbentuk atau terformat dalam pernyataan atau proposisi agar bisa direspon dan dipahami oleh pihak lain. Format ini meliputi logika sebagai aturan baku pemaknaan dan bahasa sebagai aturan pengungkapan dan penandaan yang disepakati. Pendakwah perlu memerlukan perbendaharaan makna yang valid dan perbendaharaan kata yang akurat dan signifkan.

Asas Kompetensi dan Asas Otoritas

Karena berdakwah merupakan aktivitas mengajak orang lain untuk mengimani sebuah pandangan dan menerima info, karena pandangan dan info hanya bisa diterima bila benar, juga karena kebenaran memerlukan bekal pengetahuan yang cukup, dan karena tak semua orang punya bekal pengetahuan yang cukup, maka asas kompetensi dan keunggulan pengetahuan harus dipatuhi.

Asas kompetensi adalah prinsip aksiomatis tentang kemestian pengetahuan yang cukup sebagai parameter penguasaan atau pemahaman yang menjamin akurasi dalam penyampaian pikiran tentang apapun terutana dalam agama dan sains. Tanpa kepatuhan kepada asas keunggulan pengetahuan, maka tak ada teori, norma dan hukum yang bisa diterapkan yang mengakibatkan malpraktik, misalnya dalam kedokteran dan human error dalam pengendalian pesawat juga penyebaran dusta berbungkus ajaran agama.

Agama adalah ajaran suci yang diturunkan kepada penerima yang suci dan dikawal oleh suci, maka kesucian meniscayakan kewenangan mutlak yang secara niscaya menuntut kepatuhan mutlak. Ajaran suci yang diajarkan dan dipahami berupa pikiran-pikiran oleh orang-orang yang dipercaya memiliki keunggulan kompetensi dan integritas moral melahirkan kepatuhan gradual. Karenanya, kompetensi merupakan syarat utama berdakwah.

Asas Kemaslahatan dan Asas Prioritas

Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam aktivitas dakwah adalah asas kemaslahan dan asas prioritas.

Bila kepentingan yang lebih besar yang harus diutamakan, maka kepentingan harus mengambil cakupan lebih besar yang secara niscaya mencakup himpunan-himpunan di dalamnya (umat seagama dan komunitas semazhab), yaitu kepentingan bangsa.

Teori himpunan merupakan salah satu aksioma dalam logika penalaran dan matematika, termasuk teori himpunan modern yang dikenal dengan fuzzy logic. Cara mengoleksi obyek-obyek dapat didasarkan pada sifat mereka yang sama atau berdasarkan suatu aturan tertentu. Obyek-obyek yang menjadi anggota dari himpunan ini disebut dengan elemen dari himpunan tersebut. Jika p anggota himpunan A, ditulis pÎA, dibaca ‘p adalah elemen (anggota) dari himpunan A’. Jika obyek q bukan anggota dari himpunan A, ditulis qÏA. Dengan kata lain, kepentingan tak bisa hanya dilontarkan tanpa isi dan tanpa urutannya.

Sebelum menyepakati dan mempertegas substansi kepentingan, kita harus memperjelas secara logis cakupan dan urutan himpunannya, umat manusia lalu bangsa kemudian umat seagama (umat Islam-dalam konteks bahasan ini) berikutnya komunitas mazhab dan akhirnya keluarga.

Kemaslahan secara gradual adalah bangsa, umat Islam dan masing-masing komunitas atau ormas di dalamnya. Kepentingan terbesar adalah kepentingan bangsa. Menjaga dan mempertahankan Indonesia dengan kebhinnekaan umat, baik yang beragama Islam dengan aneka aliran dan ormasnya maupun Kristiani ‘ Hindu, Budha, Konghuchu serta kepercayaan lainnya secara niscaya adalah kepentingan setiap warga negara. Inilah kepentingan yang layak dijadikan alasan.

Masyarakat pada dasarnya adalah individu-individu muslim yang memilih sebuah metode pemahaman dan pengamalan Islam. Umat pun pada dirinya adalah individu-individu yang memilih sebuah ajaran sebagai pedoman nilai dalam hidup. Keluarga pun demikian. Setiap himpunan sosial pada dirinya adalah individu-individu yang disatukan secara rasional karena kesamaan-kesamaan tertentu. Namun bila individu-individu dalam bangsa mengabaikan asas maslahat kebangsaan, eksistensi bangsa terancam. Bila individu-individu dalam umat seagama tidak mematuhi asas maslahat keumatan (sebagai umat Islam), eksistensi umat terancam. Bila terdapat individu-individu dalam komunitas mazhab rajin mendakwahkan keyakinan kemazhaban seraya mengabaikan asas maslahatan komunal, maka eksistensi komunitas terancam.

Aturan dan Etika Berdakwah dan Bertablig.

Dalam mazhab Ahlulbait, seraya mematuhi asas kompetensi dan asas kewenagan, dakwah dan tablig dibedakan secara tegas. Berdakwah mestinya dilakukan karena permintaan dari pihak yang ingin membandingkan atau tertarik untuk mempelajarinya.

Berdakwah menjadi wajib bagi pendakwah bila sasaran dakwah a) meminta atau merasa membutuhkan atau memberi peluang dan kemungkinan mengikuti materi yang didakwahkan, b) tidak punya tendensi negatif, c) tidak terkait dengan pihak atau kelompok atau figur yang menjadi bagian dari keterikatannya dalam pandangan dan keyakinan. Sebagaimana berdakwah, bertablig juga bisa menjadi wajib, mustahab bahkan haram bergantung kepada terpenuhi dan tak terpenuhi syarat-syarat normatifnya meliputi pelaku, sasaran, materi atau konten isu, cara, sarana, waktu, tempat dan tujuan.

Berdakwah atau mengajak pihak lain untuk menganut sebuah keyakinan tanpa permintaan apalagi dengan tujuan mengubah keyakinan orang lain yang merasa mantap dengan keyakinannya menyalahi hak asasi manusia karena mengintervensi pilihan personal yang bisa menimbulkan gesekan dan ketegangan sosial. Dalam neraca kemaslahatan, perbuatan ini, meski dilandasi oleh niat tulus, bisa dianggap sebagai pelanggaran normatif agama. Perlu kejelian dan kewaspadaan sebelum merespon ajakan berdiskusi karena kadang didasarkan pada motif persekusi yang telah diseting dengan kedok seminar, dialog dan semacamnya oleh pihak-pihak intoleran.

Menyampaikan atau bertablig adalah aktivitas penyampaian sesuatu tanpa tujuan mengajak pihak lain berpindah pandangan, keyakinan atau kecenderungam kepada apa yang disampaikan dan tanpa menggunakan cara serta sarana yang secara khusus menunjang upaya mengajak. Umumnya, bagi orang yang mempunyai wawasan tentang komunikasi modern dan metode public speaking, tujuan tablig adalah klarifikasi dan pernyataan pandangan dan sikap demi klarifikasi atas tuduhan, menepis kesalahpahaman dan sebagainya

Bertablig mestinya dilakukan karena klarifikasi, membantah dan menjelaskan identitas keyakinan tanpa maksud mengajaknya menganut keyakinan yang disampaikan. Meski demikian, bila dikhawatirkan menimbulkan kemadaratan, bertablig demi menyampaikan keyakinan atau klarifikasi harus dihentikan.

Dakwah dan tablig tak boleh menjadi hobi tapi ia adalah ibadah wajib dengan segenap syaratnya. Bila syarat-syarat wajibnya tak terpenuhi, stop berdakwah!