Bertakwalah kepada Allah semampumu.” (QS: Attaghabun: 16)
اتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah memberimu pengetahuan (QS. Albaqarah: 282)
Takwa adalah produk kombinasi iman dan amal. Ia adalah kondisi psikospiritual yang mendorong individu untuk mematuhi norma agama dan etika.
Perintah “bertakwalah!” tidak berarti “ambil keputusan bertakwa!” atau “jadikan takwa sebagai sikap”, tapi bermakna “berimanlah dan amalkan imanmu!”
Perintah “Berimanlah” berarti “berpikirlah dan dirikan imanmu diatas argumen-argumen kokoh!”. Perintah “Beramallah” berarti “aktualkanlah imanmu!.
Takwa adalah capaian gradual. Puncaknya tidak bisa dicapai tanpa proses penyempurnaan intelektual dan emosional (iman) dan fisikal (amal).
Setiap orang bisa punya kadar minimal takwa. Al-Quran tidak hanya mmuat ayat ” bertakwalah dengan sebenar-benarnya”, tapi juga memuat “bertakwalah semampumu”.
Takwa tidak diidentifikasi dari klaim atau kehebohan simbol tapi hanya bisa diukur dari kesalehan vertikal (ritual) dan horisontal (sosial).
Takwa adalah alasan yang sah untuk mengistemawakan seseorang. Allah berfirman “Yang termulia di antara kamu sekalian adalah yang paling bertakwa”.
Yang paling bertanggungawab dan dan dituntut untuk bertakwa bahkan bertakwa secars maksimal adalah yang gemar menganjurkan umat bertakwa setiap Jumat.
Ironis! Sebagian orang-orang yang rajin setiap Jumat menganjurkan umat agar bertakwa bahkan bertakwa sebenar2nya menyebarkan kebencian antar umat.
Kesimpulan: Takwa perlu redefinisi dan penafsiran yg rasional dan kontekstual agar anjuran bertakwa tak jadi klise dan jauh dari bumi aplikasi.