Suatu hari seseorang menghubungi saya dan mengutarakan maksud berkonsultasi. .
“Assalamu alaikum.”
“Alaikumussalam”
“Saya berniat menceraikan istri saya.”
“Hah? Kenapa?”
“Dia tidak patuh “
“Coba jelaskan detail.”
“Begini tadz, dia tidak mau melakukan perintah saya.”
“Perintah apa itu?”
“Saya memerintahkannya mencium tangan ibu saya pagi dan sore setiap hari.”
“Hhmmm”
“Bagaimana menurut ustadz?”
“Layak cerai.”
“Begitu ya ustadz?”
“Ya, kamu layak diceraikan oleh istrimu.”
“Lho kok jadi begitu?”
“Ya, karena pertama, kamu nenambahkan hukum wajib mencium tangan yang tidak diwajibkan dalam hukum agama; kedua: kamu menambahkan tugas istri yang tidak masuk dalam klausul akad nikah yang ditetapkan dalam hukum agama; ketiga, kamu menganggap pernikahan sebagai perbudakan; keempat, kamu adalah orang yang gegabah hingga tidak memenuhi syarat kelayakan lelaki waras.”
“Ya Allah! Kok bisa begitu ustadz?”
“Ya dengan mahar seadanya kamu merasa sudah membelinya. Istrimu bahkan tidak wajib mencium tanganmu “
“Jadi bagaiman nih ustadz?”
“Pulanglah dan mintalah maaf pada wanita yang sudah rela melayanimu dan mengabaikan jemu melihat wajahmu di sampingnya setiap malam. Perlakukan dia sebagaimana dia memperlakukanmu. Dia hamba Allah, mitramu, bukan hambamu.”