SUBJEK DAN OBJEK

SUBJEK DAN OBJEK

Sedetik sejak kelahirannya, subjek manusia mengakui atau menerima atau memastikan adanya dirinya.

Dari helaian kehidupan yang terbuka, setiap manusia lahir dengan gerak eksistensial yang mendalam.

Sejak tarikan napas pertamanya, manusia telah menjadi being-toward-the-world (Heidegger) — entitas yang secara primordial terlempar ke dalam keberadaan.

Sedetik berikutnya mengekspresikan pengakuan itu dalam sebuah aksi. Biasanya subjek menangis. Itulah fase singkat subjektivitasnya.

Tangisan pertamanya bukan sekadar refleks biologis, melainkan deklarasi eksistensi, sebuah pernyataan ontologis: "Aku ada!"

Tangisan itu adalah performativitas eksistensi (Butler), aksi pertama yang mengukuhkan diri sebagai entitas yang berbeda dari kehampaan. Itulah nyanyian keberadaan yang membelah kehampaan. Ia menggeliat demi memastikan lebih agresif kehadirannya dan bergerak demi mengukur ruang kiprah perdananya.

Beberapa detik kemudian menangkap satu citra berupa suara atau bunyi lalu warna, aroma dan bentuk demi bentuk sebagai respon terhadap adanya dirinya seraya memastikan adanya selain dirinya . Itulah fase objektivitasnya.

Setelah pengakuan diri, manusia memasuki fase intersubjektivitas (Husserl) — ruang di mana "Aku" bernegosiasi dengan "Yang Lain".

Persepsi akan bunyi, warna, dan bentuk bukanlah resepsi pasif, melainkan konstruksi aktif melalui filter sensorik yang sudah terprogram (Kant's a priori).

Objek atau selain dirinya atau fakta yang ditemukan dan dipastikannya itu ternyata banyak, tidak tunggal.

Setiap fakta bukanlah sekadar kesan, melainkan potongan puzzle kehidupan yang beragam. Dalam rimbunnya fakta-fakta, terbentanglah simpul-simpul makna yang terus berdeferensiasi, menggugah subjek untuk menjalankan pementasannya di panggung kemanunggalan dan keberagaman.

Objek-objek mulai dienkripsi sebagai "fakta" melalui proses sedimentasi makna (Merleau-Ponty): suara ibu menjadi kode kehangatan, sentuhan selimut jadi bahasa keamanan. Tapi setiap fakta adalah Différance (Derrida) — selalu tertunda maknanya, selalu merujuk pada jejaring tanda lain.

Karena banyak, fakta-fakta yang ditemukannya itu berlainan beragam. Karena keragamannya, fakta-fakta itu berlainan. Karena berlainan, fakta-fakta beragam dan berlainan itu terhubung.

Karena terhubung, fakta-fakta yang banyak, beragam, berlainan dan tethubung itu berbatas.

Karena berbatas, fakta-fakta yang banyak, beragam, berlainan dan terhubung itu masing-masing bercirikhas.

Karena bercirikhas, fakta-fakta fakta-fakta yang banyak, beragam, berlainan dan terhubung dan masing-masing bercirikhas itu mempunyai kemasan sendiri-sendiri.

Selanjutnya subjek manusia dengan perangkat akal melucuti ciri khas setiap fakta objektif personal yang berlainan itu lalu memproduksi gambaran universalnya masing-masing dan memasukkannya ke dalam folder gambaran-gambaran universal yang tidak lain hanyalah buatan akalnya yang tidak objektif.

Proses abstraksi akal manusia adalah bentuk epistemic violence (Spivak). Saat akal melucuti kekhasan objek untuk menciptakan konsep universal (misal: "meja" dari meja kayu, kaca, atau digital), ia melakukan reduksi atas kompleksitas.

Gambaran universal itu adalah simulakra (Baudrillard) — tiruan tanpa asal-usul, seperti angka "1" yang tak pernah mewakili satu apel atau satu bintang secara setia.

Folder gambaran universal ini adalah panoptikon konseptual (Foucault) — penjara epistemik yang mengatur realitas ke dalam kategori-kategori kuasa.

Berikutnya setiap subjek manusia dengan perangkat lunak akal melalui perangkat keras otak memproduksi fakta-fakta subjektif, universal dan abstrak (yang disingkat dengan "apa" dari fakta-fakta objektif personal yang merespon dan berkorespondensi dengan dirinya hingga perangkat keras (otak dan semua perangkat keras alias raga) mengalami disfungsi karena perangkat lunaknya melepas kendalinya.

Jiwa mengalami transendensi meninggalkan raga, akal memecat otak, hati menceraikan jantung dan terurai sebagai partikel-partikel atomik dalam sistem rotasi hyle dan morph.

Read more