Subjektivisme
Para ahli psikologi dan etika menemukan adanya relasi antara kesalahan berpikir dan kesalahan bertindak atau berprilaku. Selain disebabkan oleh faktoe-faktor eskternal, kesalahan berpikir timbul akibat faktor-faktor internal (psikologis), antara lain sebagai berikut:
Pertama adalah keterpesonaan pada sesuatu. Rasa kagum yang berlebihan akan membuat seseorang kehilangan objektivitas dan secara tidak sadar meliburkan saraf pertimbangan rasional. Inilah kekagauman yang muncul akibat ketertarikan pada tampilan, bukan isi. Inilah subjektivitas.
Kedua adalah keterpesonaan terhadap diri (egoisme, Hub Adz-Dzat). Manusia, demi mencintai dirinya, rela untuk menolak pendapat orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dirinya, betapapun sangat kuat dan gamblang. Inilah yang disebut narsisme. Secara subjektif, manusia cinta diri sendiri. Cinta diri adalah naluri induk bagi kecenderungan dan tendensi batin lainnya. Ia adalah sumber hasrat, keinginan dan dorongan batin lainnya untuk bertindak dan berusaha meraih apa saja yang dituntutnya. Naluri ini tidak pernah puas dengan kenikmatan terbatas (Q.70/19-21). Ia selalu menuntut yang lebih dari kepuasaan terakhir yang digenggamnya. Seabrek kenikmatan yang diraih tidak membuatnya tuwuk. Tuntutannya malah semakin menjadi-jadi, hingga menembus langit-langit keterbatasan. Ia membangkitkan penantian dan hasrat yang tak terhingga. Ia cenderung kepada kesempurnaan yang absolut (Q.100/8). Maka, perjumpaan dengan kesempuranaan demikian itu adalah kepuasaan terbesar bagi naluri cinta diri setiap manusia.
Ketiga adalah keterpesonaan terhadap metode penyampaian (retorika). Terkadang seseorang merasa sangat terpesona bukan pada kebenaran tema yang disampaikan kepadanya, namun terpesona pada mimik, pembicara, cara dan metode penyampaiannya, bahkan tata suara, penampilan necis, wajah klimis dan senyum menawan pembicara.
Keempat adalah keterrpesonaan terhadap tema permasalahan yang disampaikan, bukan karena metode penyampaian dan bukan pula karena bukti-bukti dan argumennya yang sangat kuat, namun karena ia sesuai dengan apriori keyakinan yang sama yang telah bersemayam dalam diri seseorang atau masyarakat.
Kelima adalah pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang. Pengangungan atau pemujaan dan kebanggaan pada orang tua dan nenek moyang kadang kadang kala membuat seorang akademis pun secara tidak sadar berpikir salah, karena rasa ini telah tertanam sejak kecil. Inilah yang disebut kultus.
Keenam pemujaan terhadap orang-orang di masa lalu Tidak jarang ulama menolak pendapat yang lebih masuk akal dan didukung dengan dalil yang sangat kuat hanya karena para pendahulunya tidak berpendapat seperti itu atau menentangnya.
Ketujuh adalah primodrdialimse, yaitu cinta berlebihan terhadap kampung halaman dan lingkungan. Secara naluriah dan kultural, manusia lebih mengutamakan segala sesuatu yang mempunyai relasi emosional dengan dirinya, termasuk tempat kelahiran. Kadang-kadang demi mendukung tim sepakbola kota kelahiran, seseorang, yang boleh jadi sangat terpelajar, berpikir bahkan bertindak salah, seperti berkelahi atau berjingkrak-jingkrak, misalnya.
Kedelapanadalah hilangnya rasa percaya atau pesimisme. Kadang kala seseorang merasa tidak mempu mencari atau memilih antara konsep atau pendapat yang benar, karena terkesan sulit dan memakan waktu, sehingga ia rela meyakini atau berpikir salah. Inilah yang disebut phobia.