Skip to main content

Intoleransi terhadap yang tak seagama tak sama dengan intoleransi terhadap kelompok seagama. Banyak orang lebih mudah bersikap toleran terhadap tak seagama ketimbang toleran terhadap seagama, karena sangat mungkin keberadaan kelompok seagama yang berbeda pandangan dan aliran dipandang sebagai rival internal.

Intoleransi terhadap kelompok seagama pun tidak sama rata. Dalam fakta, persekusi terhadap kelompok minoritas Syiah lebih serius ketimbang kelompok minoritas seagama lain seperti Ahmadiyah dan Bahai (meski lebih kecil).

Intoleransi terhadap Syiah dilakukan secara intensif dalam dua pola :

Pertama : Intoleransi Sosial

Intoleransi sosial adalah segala tindakan individu atau kelompok dalam masyarakat yang bertujuan atau mengakibatkan penafian hak orang lain dalam memilih keyakinan akibat kesalahpahaman atau disinformasi

Intoleransi sosial dilakukan dalam dua pola :

A. Intoleransi sosial sporadis mengatasnamakan umat Islam, umat Ahlussunnah bahkan ormas atau aksi massa tertentu atau narasi-narasi dan pernyataan provokatif beberapa figur berpengaruh.

B. Intoleransi sosial administatif berupa organisasi yang didirikan dengan tujuan tunggal menjadikan kelompok Syiah sebagai target ujaran kebencian.

Ini dillakukan dengan ragam modus :

1. Memperbanyak narasi toleransi hanya antar agama seolah itulah toleransk.

2. Membiarkan penyesatan dan diskrkminasi terhadapnya atau paling tidak, elitnya membiarkan kelompok tanpa pembelaan atas hak kemanusiaan dan kenegaraannya sebagai salah satu elemen bangsa setiap kali terjadi aksi persekusi dan diskriminasi oleh massa dan otoritas.

3. Mencapnya secara eksplisit dalam forum khusus dan secara implisit dalam forum umum dilumuri dengan stigma transnasional agar tak berkembang dan tak melakukan konsolidasi.

Dalam pergaulan modern sejak diciptakan teknologi transportasi di era modern yang dilanjutkan teknologi komunikasi di era pasca modern, tak ada lagi entitas yang tunggal otentik dan organik. Semuanya transnasional.

Jelaslah, cap sesat dan stempel transnasional cukup membuat kelompok yang tak lebih dari 1 juta ini sebagai target diskriminasi kultural oleh anasir otoritas agama dan dan target diskriminasi struktural oleh oknum-oknum otoritas pemerintahan, lurah, camat, walikota, bupati hingga ke atas.

Kedua : Intoleransi Strukrural

Intoleransi struktural adalah segala tindakan dan kebijakan oknum pemegang otoritas dalam institusi negara yang bertujuan atau mengakibatkan penafian hak orang lain dalam memilih keyakinan akibat kesalahpahaman atau disinformasi juga kepentingan politik

Kelompok minoritas yang disesatkan bahkan dikafirkan dari seluruh arah dipandang tak punya nilai politis sama sekali, justru merugikan bila dibela hak humanital dan konstitusionalnya.

Posisi kelompok minoritas ini lebih tragis lagi, bila orang-orang dalam institusi pemerintah dan para politisi, baik dalam partai yang mengusung Islam maupun yang mengklaim nasionalis, terpapar intoleransi sektarian. Karena itu, kita melihat fakta-fakta ironis antara lain sebagai berkut :

A. Organisasi kebencian yang memasang kata “anti” dan menyebut nama kelompok minoritas “Syiah” (baru pertama kali dalam sejarah dan di dunia) diberi izin berdiri dan tercatat secara resmi di institusi pemerintah.

B. Seorang pejabat dan pemimpin pemerintahan daerah merasa pantas meresmikan gedung organisasi provokasi ini.

C. Pejabat bupati merasa bebas menerbitkan surat edaran yang memuat instruksi kepada pemegang otoritas di bawah kekuasaannya tidak mengizinkan pendirian gedung kepada organisasi resmi kelompok minoritas yang disesatkan ini.