SUNNATULLAH, HUKUM ALAM DAN KAUSALITAS
Pada kuliah Tuhan dalam Hikmah Mutaaliyah di kelas Magister beberapa lalu saya membahas Rububiyah Takwiniyah. Siapa tahu ada yang berminat membaca. Ringkasannya pada paragraf-paragraf sebagai berikut :
Sebagian besar orang membatasi pengertian dalam terma hukum alam hanya pada hukum materi karena memahami alam sebagai hukum fisika dalam sains atau hukum materi dalam filsafat (metafisika). Setelah membatasi pengetian hukum alam pada materi, sebagian besar orang mengsnggap hukum alam sebagai sinonim atau semakna dengan hukum ksusalitas.
David Hume menolak adanya hukum kausalitas demi menghindari konsekuensi niscaya keterjadian yang non empiris. Sebagian teolog dan pemikir Muslim dari arus utama, termasuk Al-Ghazali dilaporkan menolak ksusalitas karena mengira afirmasi terhadap kausalitas berjung negasi terhadap mukjizat.
Padahal hukum tertertinggi dan utama dengan cakupan terluas adalah hukum eksistensi karena mencakup segala sesuatu yang ada, termasuk Tuhan dan selain Tuhan. Ini bisa disebut dengan hukum ontologi.
Level setelahya adalah hukum keterjadian yang berlaku atas setiap makhluk atau segala sesuatu selain Tuhan . Para filsuf menyebutnya hukum kausalitas atau sehab akibat. Para teolog Muslim menyebut hukum takwini yang meliputi apapun yang diciptakan Tuhan dalam level eksistensinya atau gradasinya. Dalam kitab suci Al-Quran hukum kausalitas dan hukum takwini ini disebut Sunnatullah -menurut banyak mufassir. Ini mungkin bisa juga disebut hukum kosmologi bila makna kosomos diekspansi meliputi apapun yang bukan Tuhan.
Hukum takwini berlaku dalam tiga kelompok peristiwa: 1) yang terjadi tanpa peran kehendak dan tindakan manusia; 3) yang terjadi karena beberapa sebab, termasuk kehendak sebagai salah satu sebab; yang terjadi karena kehendak manusia sebagai sebab utama. Inilah lazim disebut pebuatan-perbuatan manusia.
Perlu diketahui juga, Hukum takwini berlaku atas semua makhluk atau ciptaan Tuhan dengan cakupan dan level yang variatif.
Level di bawahnya dengan cakupan lebih sempit adalah hukum yang hanya berlaku atas makhluk tertinggi dan termulia secara eksistensial, yaitu hukum yang hanya berlaku atas entitas intelektual atau entitas spiritual murmi, yang lazim disebut intelektus dalam filsafat skolastik dan disebut aql dalam filsafat Islam atau ruh dalam kitab suci.
Level di bawahnya dengan cakupan yang lebih sempit adalah hukum yang hanya berlaku atas makhluk-makhluk medium atau interval, yaitu entitas spiritual yang bersambung atau menyatu dengan materi atau memerlukan materi dalam setiap aktivirasnya. Para filsuf Muslim menyebutnya nafs dengan pengertian dalam tema Filsafat Jiwa yang tak sama dengan jiwa dalam psikologi saintifik.
Level di bawahnya dengan cakupan lebih sempit lagi adalah hukum yang hanya berlaku atas materi dengan ragam level dan ciri khasnya masing-masing dari materi terendah berupa hyle atau potensi semata hingga potensi yang mengalami aktualisasi sebagai materi yang berbentuk atau punya kemasan atau profil khas.
Karena materi bervariasi dalam level eksistensi, maka setiap himpunan materi "dipaksa"' mematuhi hukum khas masing-'masing sesuai levelnya.
Berikut adalah hukum-hukum alam materi yang diyakini oleh para saintis berlaku secara determinan :
1. Hukum-gravitasi: Merupakan hukum yang menentukan daya tarik bumi terhadap objek-objek di permukaan bumi. Hukum ini menjelaskan mengapa benda-benda jatuh ke arah bumi.
2. Hukum termodinamika: Hukum-hukum yang mengatur perubahan energi dalam sistem tertutup, seperti hukum kekekalan energi dan hukum termodinamika kedua tentang entropi.
3. Hukum gerak: Hukum-hukum yang mengatur gerak benda, seperti hukum Newton tentang gerak, hukum kekekalan momentum, dan hukum aksi-reaksi.
Salah satu problema yang kerap disalahpahami oleh asal usul etnik dan generik dan sejumlah fakta kelahiran. Manusia Setengah atau lebih dari apa yang dimiliki oleh manusia adalah akibat dari sebuah proses keterjadian determinan di luar kehendak dan piihannya. Ia bahkan tak memilih untuk jadi manusia. Siapapun tak memilih dilahirkan di mana, dari rahim siapa dalam garis nasab siapa, bahkan tak memilih untuk lahir. Tak memilih tanah kelahiran dan tempat ari-ari plasenta ditanam. Tak bisa memilihasal usul, nenek moyang dan pohon silsilah.
Salah satu problema masyarakat saat ini adalah standarisasi kecantikan. Masih marak sekali timbul anggapan-anggapan negatif mengenai kacantikan seseorang misalnya seperti seorang cantik itu harus berkulit putih, rambut lurus, bibir tipis, (standarisai). Dalam masyarakat yang hidup di wilayah tropis dan terbiasa dengan dua musim, anggapan seperti itu hanya menimbulkan rasa inferior bagi mayoritas dan rasa superior bagi segelintir orang.
Masih sering kita jumpai di sekitar kita, bagaimana orang menceritakan kisah pilunya kerena memiliki standarisasi kecantikan yang tidak sesuai standar umum yang ditetapkan oleh industri kosmetik, karena dikucilkan, sulit diterima sesuai keahlian, dihina, bahkan dibully.
Padahal telah jelas diterangkan dalam Al-Qur’an “Sungguh, Kami telah Menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (At-Tin : 4). Ayat menegaskan bahwa manusia adalah ciptaan terbaik, tanpa embel-embel hidung mancung, kulit putih tinggi dan sebagainya.
Meskipun pada akhirnya telah datang fakta dan informasi yang benar, tidak mudah mengubah kindset masyarakat. Walaupun sejatinya kecantikan itu adalah relatif bagi diri sendiri dan relatif bagi orang lain, tak mudah mengubah anggapan tak adil tentang standarisasi kecantikan yang telah mengakar di masyarakat kita saat ini.
Bila sulit mengubah setidaknya tak mengafirmasinya. Bentuk wajah, meski beberapa bagiannyai bisa diubah dengan teknologi, sebagaimana golongan darah, nasab, sidik jari dan sebagainya adalah produk ketentuan determinan Tuhan melalui proses natural, bukan pilihan dan capaian dari usaha. Ia adalah produk hukum takwini.
Selain memberlakukan hukum takwini yang berlaku secara eksistensial dan determinan atas semua makhluk, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Tuhan juga memberlakukan hukum esensial dan tidak determinan yang bisa dipatuhi dan dilanggar karena kehendak merupakan salah satu elemen dan sebab terdekatnya. Tanpa kehendak, ia tak tak berlaku. Inilah yang dalam khazanah teologi Islam lazim disebut hukum tasyrii.
Bila hukum takwini bisa dianggap sebagai hukum kemakhlukan karena berlaku atas semua makhluk dari atom hingga manusia, maka hukum tasyri'i hanya ditetapkan atas makhluk yang punya kehendak dan akal, yaitu manusia juga jin sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci Al-Quran.