Surat Prof. Mojtahed-Zadeh kepada Sekjen PBB tentang 3 pulau yang diklaim KTT Liga Arab

Surat Prof. Mojtahed-Zadeh kepada Sekjen PBB tentang 3 pulau yang diklaim KTT Liga Arab
Photo by Unsplash.com

pirouz-mojtahedzadeh.jpg

Pada 30 Maret 2008, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab berakhir di Suriah. Salah satu hasil mengejutkan dari KTT itu adalah seruan kepada Iran untuk mengakhiri ‘pendudukan’ atas tiga kepulauan di Teluk Persia yang negara-negara Arab klaim sebagai milik Uni Emirat Arab (UEA). Ketiganya adalah pulau Abu Mousa, Tunb Besar, dan Tunb Kecil. Bahkan, seruan yang dicantumkan dalam sebuah komunike bersama itu meminta kepada Sekjen PBB untuk menjadikan ‘sengketa’ atas tiga pulau itu sebagai agenda Dewan Keamanan PBB.

Berikut ini adalah surat dari guru besar geografi politik Universitas Tarbiat Modares, Tehran, Profesor Pirouz Mojtahed-Zadeh kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon menanggapi klaim KTT Liga Arab tersebut.

Tidak diragukan lagi, surat bertanggal 17 Maret 2008 kepada Dewan Keamanan PBB (UN- S/2008/179) yang ditulis Liga Arab dengan menggunakan Pasal 54 dari Bab VIII Piagam PBB berkaitan dengan ambisi UEA terhadap pulau-pulau milik Iran, Tunb Besar, Tunb Kecil, dan Abu Mousa di Teluk Persia adalah contoh terbaik dari upaya mengeksploitasi preseden berbahaya yang diterapkan Amerika Serikat dalam menekan DK PBB untuk menelurkan resolusi-resolusi atas Iran dengan berdasarkan atas pretensi-pretensi yang palsu.

Dalam proses yang tidak menguntungkan itu ketika DK PBB dituntut oleh Piagam PBB untuk menentukan keberadaan ancaman kepada perdamaian, pelanggaran atas perdamaian, atau setiap tindakan agresi pada pihak Iran, International Atomic Energy Agency (IAEA) diminta untuk menyelidiki Iran agar dapat memfasilitasi DK PBB dalam membuat keputusan. Tetapi, IAEA, ketika masih terlibat dalam penyelidikan-penyelidikan mereka, dipaksa oleh AS dan sekutu Eropanya untuk menyerahkan kumpulan dokumen terkait penyelidikan-penyelidikan mereka yang belum selesai itu kepada DK PBB di bawah Bab VII Piagam PBB demi meloloskan resolusi-resolusi yang bersifat sanksi atas Iran. Inilah tentu saja sangat tidak sesuai dengan aturan, apalagi ketika Sekjen PBB pada saat itu menunjukkan bahwa DK PBB bukanlah forum yang tepat dalam kaitan dengan kumpulan dokumen itu. Yang jauh lebih buruk, ketika IAEA melaporkan hasil penyelidikan-penyelidikannya yang membersihkan Iran dari segala tuduhan terkait penggunaan strategis program nuklirnya, DK PBB lagi-lagi dipaksa untuk meloloskan resolusi ketiga yang berisi sanksi terhadap Iran. Dalam uraian saya di berbagai media internasional mengenai pelolosan resolusi-resolusi itu sebagai telah menentang semua gagasan tentang legalitas, saya memperingatkan bahwa apa yang sedang Amerika Serikat lakukan dalam persoalan ini adalah menetapkan preseden berbahaya dalam menggunakan organisasi-organisasi intemasional seperti DK PBB demi tujuan-tujuan yang paling berbahaya terhadap perdamaian dunia. Dan kasus yang diajukan kepada DK PBB oleh Liga Arab atas nama UEA terhadap Iran, dan yang jelas didorong oleh presiden AS dan wakilnya ketika mereka melakukan perjalanan ke Timur Tengah baru-baru ini, adalah suatu contoh yang jelas dari eksploitasi preseden berbahaya tadi, dan ini jelas akan merusak perdamaian di kawasan.

Tuan Ban,

Saya, Pirouz Mojtahed-Zadeh, seorang profesor geografi politik di Universitas Tarbiat Modares (Tehran), telah mempelajari kasus terkait hak-hak Iran di kawasan Teluk Persia dan kedaulatannya atas pulau-pulau Tunb Besar, Tunb Kecil, dan Abu Mousa sejak pulau-pulau ini, secara legal, dikembalikan ke Iran pada 1971 oleh Inggris, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas emirat-emirat protektorat pada waktu itu, dan saya meyakinkan anda bahwa dalam surat ini, saya berbicara atas nama rakyat Iran yang adalah pemilik-pemilik sah negeri mereka, termasuk pulau-pulau itu, terlepas dari apa pun reaksi pemerintah Iran dalam konteks ini, jika ada.

Karenanya, saya berniat menarik perhatian anda kepada fakta-fakta berikut untuk melihat sifat fiktif dari cerita yang dibuat Liga Arab di bawah pengaruh pemerintah UEA, dan yang didukung oleh kecenderungan-kecenderungan rasial anti-Iran di sisi Arab berkaitan dengan Teluk Persia, yang untuk tujuan-tujuan rasial yang sama mengusulkan penggunaan nama fiktif bagi Teluk Persia yang kembali diulangi oleh surat dari Liga Arab kepada DK PBB; sesuatu yang menentang posisi jelas PBB dalam persoalan ini (nama Teluk Persia—red).

Surat dari Liga Arab, sebuah campuran ‘kebenaran’ yang setengah-setengah, diawali dengan Pasal 54 Piagam PBB yang menyatakan secara jelas bahwa, “Dewan Keamanan akan terus diberitahukan secara penuh tentang aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan atau yang dalam pemikiran di bawah pengaturan-pengaturan regional atau oleh para agen regional untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.” Untuk memberitahu DK PBB informasi secara terus-menerus tentang aktivitas yang bertentangan dengan keamanan internasional, pihak yang mengajukan keluhan secara alamiah tentu saja dituntut untuk menghadirkan kepada DK PBB bukti tentang kapan dan bagaimana aktivitas yang dituduh itu telah terjadi. Namun, surat Liga Arab itu secara tidak tulus menghindari kewajiban kepada DK PBB tersebut bahkan meski hanya dengan suatu tanggal tertentu terkait aktivitas yang dituduhkan, yakni yang mengindikasikan bahwa pulau-pulau yang dipermasalahkan itu memang diduduki oleh Iran, sesuatu yang merupakan sebuah manipulasi fakta sejarah yang memalukan. Iran tidak pernah berbicara sepatah kata pun tentang pulau-pulau itu sejak 1971 ketika semua pulau itu dikembalikan kepadanya secara legal hukum melalui MoU yang ditandatangani oleh Iran dan Emirat Sharjah di bawah pengawasan dari Kantor Luar Negeri Kerajaan Inggris, yang pada saat itu merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk urusan luar negeri dan pertahanan dari wilayah Emirat-Emirat protektorat mereka. Jelas, DK PBB tidak boleh melewatkan fakta bahwa aktivitas-aktivitas yang dituduhkan Liga Arab atas Iran kepada DK PBB dalam surat mereka telah dirancang untuk menimbulkan perselisihan-perselisihan teritorial dengan Iran. Ini dilakukan dengan membuka kembali suatu kasus yang sudah ditetapkan secara legal dan damai sejak lebih daripada 36 tahun yang lalu, bahkan sebelum UEA eksis. Keinginan seperti itu jelas pada gilirannya merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, dan dengan demikian sebenarnya pemerintah Iran-lah yang berhak menggunakan pasal 54 Piagam PBB itu untuk menghadapi UEA atau Liga Arab, karena telah mengagitasi perdamaian dan keamanan kawasan dengan berupaya untuk menghidupkan kembali satu kasus yang sudah tuntas sejak lama dan dengan menginternasionalisasikan agitasi itu lewat surat kepada DK PBB. Untuk memudahkan pemahaman yang lebih baik terhadap argumentasi-argumentasi ini, izinkan saya untuk memohon perhatian anda kepada bukti-bukti berikut terkait fakta-fakta yang berhubungan dengan kasus yang dipersengketakan:

A. Bukti Geografis

1. Dua pulau Tunb berposisi di separuh bagian utara Teluk Persia sehingga jelas berada di dalam wilayah perairan Iran. Dalam kesepahaman umum antara Inggris dan Iran pada pertengahan 1960-an, pulau-pulau yang terletak di separuh bagian utara Teluk Persia masuk ke dalam wilayah Iran dan pulau-pulau yang berada di separuh selatan menjadi milik Arab. Karenanya, Iran memutuskan pada 1970 untuk menarik klaim terhadap pulau-pulau Bahrain (Resolusi DK PBB 278 tentang Bahrain, 11 Mei 1970) dan Inggris memutuskan untuk melepaskan klaim-klaim yang tak dapat dipertahankan atas pulau-pulau Tunb pada 1971.

2. Pulau Abu Mousa terletak di garis median Teluk Persia setengah jalan antara Iran dan Sharjah dan berdasarkan MoU 1971 yang ditandatangani antara Emirat Sharjah dan pemerintah Iran dengan pengawasan dari Kantor Urusan Luar Negeri Inggris, kedaulatan atasnya dibagi bersama oleh keduanya.

B. Bukti Historis

1. Ketiga pulau yang dipermasalahkan, seperti halnya semua pulau lain di separuh bagian utara Teluk Persia, selalu menjadi milik Iran.

2. Pada 1902, Kantor Urusan Luar Negeri Inggris memutuskan dalam sebuah pertemuan rahasia untuk menduduki pulau-pulau ini atas pertimbangan strategis (British Foreign Office document, FO 416//10).

3. Pulau-pulau Tunb Besar dan Abu Mousa, bersama-sama dengan Pulau Sirri juga adalah kepunyaan Iran, yang diduduki Inggris atas nama Penguasa Emira Sharjah (British Foreign Office document, FO 416/17, p.191). Tunb Kecil diduduki pada 1908 (dokumen yang sama).

4. Sejak saat itu, Iran mencoba memulihkan kedaulatannya atas pulau-pulau itu, dan berhasil dalam beberapa kesempatan untuk menguasai pulau-pulau itu (untuk detail lihat Pirouz Mojtahed-Zadeh, Security and Territoriality in the Persian Gulf, Chapter 9, Legal and historical arguments, Curzon/ Routledge Publication, London 1999, New York 2002).

5. Pada Nopember 1971, kedua pihak berhasil memecahkan perselisihan dengan menandatangani MoU Iran-Sharjah, dimana kedaulatan bersama atas wilayah-wilayah pulau itu diserahkan kepada masing-masing pihak (lihat MoU pada halaman 8, dalam Pirouz Mojtahed-Zadeh, ibid. Appendix III).

C. Bukti Legal

1. Para anggota Liga Arab, termasuk Irak, Libya, Aljazair, Kuwait, Yaman Selatan, dan UEA mengajukan komplain atas Iran kepada DK PBB pada Desember 1971. Dengan cara yang sama mereka berargumentasi tanpa bukti bahwa Iran telah menduduki pulau-pulau dimaksud. DK PBB bertemu pada 9 Desember 1971 dan, setelah mempertimbangkan secara seksama, memutuskan, tanpa keberatan, untuk mengabaikan komplain itu (UN monthly chronicles, January 1972, Vol. IX, No. 1, Records of the month of December 1971). Pertanyaannya sekarang adalah jika DK PBB memutuskan pada waktu terjadinya peristiwa bahwa tidak ada kasus yang dapat dikeluhkan, maka bagaimana Liga Arab bisa membuktikan bahwa satu peristiwa yang berlangsung 36 tahun lalu dan tidak menyebabkan gangguan atas perdamaian dari kawasan pada waktu itu, menyebabkan gangguan atas perdamaian kawasan sekarang, dan bagaimana mungkin mereka mengharapkan badan internasional yang sama untuk mengabaikan semua aturan dan peraturan internasional yang relevan, seperti Piagam PBB, dengan menerima komplain yang sama lagi dan lagi.

2. Sementara UEA tidak mempunyai mandat yang relevan untuk memproses komplain hukum dalam konteks ini pada tingkatan internasional, sebagaimana akan digambarkan selanjutnya, pertanyaannya ialah bagaimana bisa Liga Arab, yang anggota-anggotanya secara langsung tidak berkaitan dengan sebuah perselisihan wilayah yang telah tuntas sebelum berdirinya UEA antara Iran dan Emirat Sharjah, memiliki otoritas untuk juga mengajukan komplain hukum?

3. Dengan mempertimbangkan hal tersebut dan fakta bahwa kasus mengenai pulau-pulau ini telah tuntas antara Iran dan Emirat Sharjah di bawah pengawasan Inggris sebelum pembentukan UEA, maka UAE tidak bisa mengabaikan MoU Iran-Sharjah yang eksis sebelum keberadaan mereka, kecuali jika persetujuan-persetujuan seperti itu telah secara resmi dinyatakan tidak sah oleh negara yang baru dibentuk pada waktu pembentukannya. Faktanya, bukan hanya UEA tidak menyatakan bahwa kesepakatan-kesepakatan antara Iran dan Britania Raya (bertindak sebagai pemerintah dari emirat-emirat protektorat pada waktu itu) sebagai tidak sah, tetapi juga Dewan Tertinggi UEA telah memutuskan dalam pertemuannya pada 12 Mei 1992 bahwa kewajiban-kewajiban luar negeri dari emirat-emirat sebelum pembentukan UEA akan menjadi kewajiban-kewajiban UEA itu sendiri.

4. MoU Nopember 1971, yang ditandatangani Iran dan Sharjah, adalah instrumen legal mengingat tidak ada hak campur tangan bagi pihak ketiga menurut hukum internasional. Juga dikembalikannya kedua pulau Tunb kepada Iran oleh Britania Raya terjadi atas dasar kesepahaman dari kedua belah pihak dimana Iran ingin tidak ada persetujuan tertulis yang nantinya (jika ada kesepakatan tertulis) akan menimbulkan keraguan atas kedaulatan absolutnya atas pulau-pulau itu. Meskipun demikian, adalah penting untuk diperhatikan bahwa wakil Inggris (yang bertanggung jawab atas pertahanan wilayah dan hubungan-hubungan luar negeri emirat-emirat protektoratnya) telah menyatakan dalam pertemuan DK PBB pada 9 Desember 1971 bahwa pengaturan atas pulau-pulau itu yang dilakukan oleh pemerintahnya dan pemerintah Iran pada November 1971 menjadi sebuah model pengaturan untuk menyelesaikan masalah teritorial yang serupa di tempat lain di dunia (UN monthly chronicles, January 1972, Vol. IX, Records of the month of December 1971).

5. Dalam pertemuan Dewan Tertinggi UEA pada 12 Mei 1992, H. H. Emir Sharjah yang merupakan mitra Iran dalam MoU 1971 menolak untuk mempercayakan otoritas Emiratnya atas persoalan pulau Abu Mousa kepada pemimpin UEA dan meninggalkan pertemuan tersebut. Karenanya, tindakan presiden UEA yang mengasumsikan memiliki otoritas atas kasus pulau Abu Mousa di tengah ketidakhadiran penguasa Sharjah dan tanpa persetujuannya menunjukkan bahwa klaim pemimpin UEA terhadap pulau itu tidak sah. Adalah patut diperhatikan pula bahwa kepemimpinan di tubuh UEA telah didominasi oleh keluarga penguasa Al-Nahyan dari Abu Dhabi sejak kemunculannya. Ini bertentangan dengan teks Konstitusi UEA yang menetapkan kepresidenan dari UEA bergiliran di antara para penguasa dari tujuh emirat anggota UEA.

6. Sudah bertahun-tahun lamanya para pemimpin UEA terus berusaha untuk menampilkan pengembalian Abu Mosau dan dan pulau-pulau Tunb kepada Iran pada 30 Nopember 1971 sebagai sebuah pendudukan militer. Dalam skenarionya, kedatangan Angkatan Laut Iran ke pulau Abu Mousa untuk mengibarkan bendera Iran di pulau itu pada waktu itu dianggap cukup menjadi alasan untuk membuat tuduhan itu, dengan tanpa mengindahkan fakta bahwa kehadiran Iran disambut secara resmi di Abu Mousa oleh saudara Emir Sharjah. Mengibarkan bendera suatu negara penerima dalam upacara serah terima wilayah di antara kedua negara adalah praktek yang legal, seperti halnya Angkatan Laut AS mengibarkan bendera negara itu di Alaska saat diserahterimakan kepada AS dari Rusia.

Di Tunb Besar, sebuah kesalahpahaman antara komandan stasiun polisi Inggris dan elemen-elemen Irak, yang ditanam di sana untuk menyabotase serah terima pulau itu, telah mengakibatkan insiden tembak-menembak antara mereka. Sebagai respon cepatnya, Angkatan Laut Iran yang baru saja tiba untuk mengibarkan bendera Iran di sana menahan mereka yang terlibat dalam insiden itu dan mengirim mereka kembali ke Emirat Ras al-Kheimah. Maka jelaslah, upaya UEA dalam melukiskan insiden lokal di Greater Besar, bersama dengan sambutan selamat datang resmi yang disampaikan kepada AL Iran di Abu Mousa, sebagai pendudukan militer Iran atas tiga pulau itu menunjukkan karakter palsu dari klaim-klaim UEA.

7. Pada 27 Oktober 1992, UEA membagi-bagikan sebuah berkas kepada para anggota PBB dimana mereka meminta Iran untuk tetap terikat dengan terminologi MoU 1971 antara Iran-Sharjah, tetapi pada saat yang sama mengklaim kedaulatan atas ketiga pulau tersebut. Tindakan seperti itu membuktikan bahwa UEA sama sekali tidak menyadari bahwa mereka telah membantah diri mereka sendiri dan dengan demikian menggugurkan klaim-klaim mereka sendiri menurut hukum internasional yang berkata; allegans contraria non est audindus, yakni bahwa siapa pun yang pernyataan-pernyataannya saling menggugurkan satu sama lain sebaiknya tidak didengar (A. D. McNair, The Law of Treaties, Clarendon Press, Oxford 1961, p.185).

D. Bukti-bukti Lain

1. Surat Liga Arab yang dimaksud berbicara tentang upaya UEA untuk mengatasi apa yang mereka sebut “sengketa” dengan Iran melalui negosiasi-negosiasi. Sebuah kajian yang jujur terhadap fakta justru akan, menurut saya, lebih menunjukkan kemisteriusan UEA dalam persoalan ini: pejabat-pejabat Iran telah berupaya untuk membahas hal ini dengan UEA sejak klaim-klaim mereka dipublikasikan. Setidaknya dalam tidak kurang dari lima kesempatan pejabat-pejabat Iran berinisiatif memprakarsai kontak langsung dengan pejabat-pejabat UEA, dan sayangnya dalam semua kesempatan itu, pejabat-pejabat UEA menolak untuk berbicara dengan Iran.

2. Sebagai satu contoh, adalah penting untuk dicatat bahwa wakil Iran dan UEA pernah bertemu di Doha (Qatar) pada 18 Nopember 1995 untuk menegosiasikan persoalan ini. Tiba-tiba setelah sesi pendahuluan dan pengenalan anggota kedua delegasi, wakil-wakil UEA menyatakan kepada media bahwa negosiasi telah gagal karena kekeraskepalaan Iran dalam pertemuan, meskipun pertemuan nyatanya sama sekali belum dimulai (Pirouz Mojtahed-Zadeh, Iran and UAE. Meeting in the Dark, Middle East International, No. 515, London 15 December 1995, PP. 18-19).

Yang Mulia,

Dengan mempertimbangkan semua hal di atas, saya menganggap adalah pantas untuk mengatakan bahwa setiap pengakuan bagi kebohongan ini oleh setiap negara atau organisasi intemasional sebagai ‘sengketa wilayah’ antara Iran dan UEA akan menunjukkan bahwa pemerintah atau badan internasional itu sedang berupaya untuk menciptakan perselisihan di kawasan yang akan merugikan perdamaian dan stabilitas di kawasan Teluk Persia, pada saat yang sama ketika Amerika Serikat dan Israel sedang berusaha keras untuk memanfaatkan setiap alasan untuk memulai peperangan mereka yang dijanjikan atas Iran, yang niscaya akan menjurus kepada Perang Dunia III menurut para analis politik dan militer Amerika sendiri.

Dalam keterangan pembuka, saya berbicara tentang preseden berbahaya yang ditetapkan AS dalam memaksa DK PBB untuk meloloskan resolusi-resolusi terhadap program energi nuklir Iran tanpa ada kasus yang terbukti tentangnya. Saya yakinkan kepada anda bahwa Surat Liga Arab tanggal 17 Maret 2008 kepada DK PBB atas nama UEA itu adalah usaha pertama untuk memanfaatkan preseden itu dengan harapan bahwa, sejak DK PBB begitu mudah meloloskan resolusi-resolusi tanpa dasar terhadap oleh adikuasa tunggal, maka mereka memandang perlu mencoba hal yang sama. Ini bukanlah yang pertama kali bahwa UEA mendemonstrasikan kebijakan politik “anjing hutan mengikuti singa dengan harapan mendapatkan sisa mangsa”. Pada 1992, distribusi berkas mereka di PBB juga dilakukan setelah AS mengusir pasukan Irak dari Kuwait yang mengesahkan kehadiran militer AS di tanah-tanah Arab.

Pastinya, negara-negara Muslim dan Liga Arab tidak lupa akan fakta bahwa peperangan Amerika di Timur Tengah, termasuk peperangan yang dijanjikan atas Iran, dirancang untuk mengamankan berbagai kepentingan geostrategis Israel yang menginginkan supremasi di kawasan itu dengan risiko tersebut dari perdamaian dan stabilitas dunia Muslim, dan setiap usaha untuk memecah belah dunia Muslim akan meratakan jalan bagi pelaksanaan agenda-agenda pro-Israel ini di Timur Tengah. (www.icc-jakarta.com)

Read more