Budaya Syiah Indonesia
Masyarakat Nusantara saat itu bersifat tradisional-mistik. Corak kehidupan masyarakat tersebut ditandai dengan hidupnya sejumlah sistem kepercayaan leluhur di setiap kelompok sosial berbasis adat yang berpengaruh terhadap tata kehidupan termasuk pola perubahan cara berpikir, berinteraksi, hingga memberi respon terhadap pemikiran yang baru. Artinya, penerimaan dan penolakan terhadap pemikiran atau konsep baru menggunakan alat ukur yang lebih bersifat mistikal dan kultural. Itulah sebabnya Islam yang masuk ke Nusantara saat itu adalah Islam yang membawa corak mistik dengan pola-pola penyebaran yang bersifat kultural.
Pada fase ini, resistensi penduduk asli hampir tidak ada ataupun jika ada, dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan mekanisme kultural dan pendekatan-pendekatan mistik. Justru dengan ini, maka perkembangan sosial di Nusantara memperlihatkan sebuah perpaduan budaya dan akulturasi yang membentuk sebuah entitas masyarakat baru yang beragam atau majemuk. Kemajemukan tersebut menyatu dalam suatu pola hidup yang sebenarnya memberikan kemandirian terhadap agama masing-masing komunitas untuk menjiwai perkembangan sosialnya tanpa harus merasa terganggu dengan keyakinan komunitas lain. Ini ditunjukkan bahwa selama ratusan tahun masyarakat Indonesia tidak pernah terlibat konflik hanya karena pemeluk agama yang satu merasa lebih dahulu hidup di Nusantara ataupun merasa lebih unggul dalam konsep teologis, dan lain sebagainya.
Islam yang diterima di Nusantara pada fase ini adalah Islam yang tidak datang merombak orisinalitas budaya bangsa setempat melainkan memberikan penguatan dan argumentasi baru atas konsep-konsep kebertuhanan serta tata kehidupan berdasarkan konsep tersebut. Pada fase inilah khazanah Syiah lebih mudah diterima. Seperti diketahui bahwa dalam tradisi Syiah, konsep mistisisme atau spriritualisme dan pendekatan damai serta ajaran akhlaqul karimah merupakan inti ajarannya. Strategis kultural Syiah terlihat tidak mengedepankan aspek teologi dan fikih sehingga berhasil menghindari konflik dengan agama pribumi. Itu terjadi karena corak spiritual, mistik, dan kultural tersebut memiliki kesamaan dengan agama pribumi.
Selain itu, ada perspektif lain yang menyebutkan bahwa penyebar Islam ini adalah para pedagang. Menyiarkan Islam bukan maksud utama atau satu-satunya untuk datang ke Nusantara. Islam disebarkan sebagai efek dari pembauran dalam waktu yang cukup lama. Proses penyebaran Islam oleh para pendakwah temporer ini meninggalkan corak Islam yang akulturatif.
Penerimaan terhadap Islam yang bercorak spiritual, mistik, dan kultural tadi juga memperlihatkan pembauran konsep antar mazhab Islam. Mungkin akibat trauma sejarah yakni konflik penguasa dengan pemeluk Syiah di Timur Tengah menyebabkan pendakwah berkeyakinan Syiah lebih memilih Sunni Syafi’i dalam ajaran fikihnya. Inilah yang di kemudian hari membentuk komunitas Nahdlatul Ulama dengan teologi Sunni yang khas Indonesia. NU memiliki corak kesunnian beserta tradisi-tradisi kejamaahannya yang berbeda dengan Sunni di Timur Tengah atau di belahan dunia Islam lainnya. Jejak Syiah dalam tradisi NU tak dapat dibantah. Hal mana diakui Gus Dur dengan pernyataannya yang sangat terkenal, “NU adalah Syiah minus imamah, dan Syiah adalah NU plus imamah.”
Perkembangan berikutnya adalah masuknya gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang mencoba menggabungkan berbagai corak ajaran Islam. Gerakan yang mirip dengan gagasan Pan Islamisme Jamaluddin Al-Afghani yang digabung dengan Muhammad Abduh. Gerakan ini terpaksa mengangkat tema-tema teologi dan fikih sebagai suatu konsekuensi pembaharuan Islam dalam menghadapi gelombang modernism. Gerakan ini kemudian menimbulkan benturan akibat munculnya klaim kebenaran antar mazhab. Pada saat itulah gerakan Wahhabisme mempertegas benturan antar mazhab dengan slogan anti takhayul, bid’ah, dan khurafat. Gerakan Wahhabisme berkembang sedemikian rupa dengan karakteristik takfiri dalam berbagai variannya hingga kini melalui kelompok-kelompok masyarakat baik yang berbentuk ormas maupun komunitas lain.
Syiah dalam situasi masyarakat seperti ini hanya berupa “artefak” kultural yang dapat dijumpai pada tradisi dan upacara tahunan semacam asyura, maulid, dan ritual lain seperti ziarah kubur, tradisi tabarruk kepada ulama dan tempat keramat para ulama dan habaib, ritual munajat, ratib dan zikir dan sebagainya. Syiah sebagai sebuah mazhab pemikiran yang sarat dengan gagasan pembaharuan dan perubahan sosial tidak lagi dijumpai dalam waktu yang cukup lama, hingga meletusnya Revolusi Islam Iran.
Sebagai mazhab Islam arus utama bersama Ahlussunnah, Syiah memiliki sejarah yang merentang jauh hingga ke masa fajar Islam menyingsing di jazirah Arab pada abad ke-6 Masehi. Selama itu pula, para pengikut mazhab ini diakui telah memberikan banyak kontribusi signifikan bagi perdaban Islam pada umumnya, baik dalam bidang pemikiran (filsafat, teologi, moral, irfan, dan hukum) hingga di ranah praktik sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Beberapa di antaranya bahkan tercatat sebagai figur prestisius tak tertandingi yang mewarisi pengaruh sangat luas dan menentukan sampai hari ini. Sebut saja di antaranya “bapak kedokteran” Ibnu Sina, pendiri teosofi keislaman Nashiruddin Thusi, “mahkota filsafat Islam” Mulla Shadra, dan “bapak revolusi Islam di abad modern” Imam Khomeini.
Seluruh dinamika dan prestasi mengagumkan itu mencapai puncaknya berkat revolusi Islam di Iran pada Februari 1979–yang secara fantastis dan sukses menumbangkan kekaisaran Persia berusia 2500 tahun dan didukung seluruh kekuatan “adidaya” Barat. Sejak saat itu, Syiah sebagai mazhab keislaman sekaligus kekuatan sosial politik mulai diperhitungkan di kancah internasional serta menjadi sorotan publik.
Salah satu implikasi yang tak dapat diabaikan dari revolusi itu adalah meningkatnya jumlah pengikut mazhab Syiah sebanyak dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Sampai hari ini, kuantitas pengikut mazhab ini ditaksir mencapai sekitar 400 juta jiwa atau 25 persen dari total populasi Muslim yang tersebar di pelbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan data mutakhir, di antara negara-negara Muslim di dunia, Indonesia dihuni sekitar 200 juta Muslim atau 80 persen dari total penduduknya (yang menurut data statistik 2013 mencapai 250-an juta jiwa). Kondisi ini menjadikan negara yang terletak di lintasan katulistiwa itu sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Fakta dan istilah “mayoritas Muslim” di Indonesia nyaris identik dengan “mayoritas mazhab Ahlussunnah”. Artinya, mazhab keislaman ortodoks dan dominan di sini adalah Ahlussunnah. Akibatnya, dalam konteks kemazhaban, Syiah bukan hanya dipandang sebagai minoritas, namun juga diperlakukan sebagai “anak kemarin sore” di kancah keislaman tanah air.
Padahal, menurut beberapa literatur klasik kesejarahan lokal, aliran keislaman yang pertama kali masuk atau membawa masuk Islam ke Nusantara (jauh belum terbentuknya negara modern bernama Indonesia) justru adalah Syiah. Sejarahwan A. Hasjmy, misalnya, menuliskan dalam bukunya, Syiah dan Ahlussunnah Saling Berebut Pengaruh di Nusantara (Bina Imu, Surabaya, 1984), “Pada tahun 800, sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak (wilayah DI Aceh sekarang). ‘Armada dakwah’ itu berisikan saudagar-saudagar Muslim Arab Quraisy, Persia, dan India, yang dipimpin oleh nahkoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan dengan rempah-rempah.” (Lih. Majalah Historia, no. 6, tahun I, 2012).
Seluruh rombongan misi Islam itu, lanjut A. Hasjmy, adalah orang-orang Syiah. Karenanya ia berkesimpulan bahwa mazhab keislaman yang pertama kali tersebar di Nusantara adalah Syiah, dengan Kerajaan Perlak sebagai tonggak pertamanya.
Sejarahwan lain, Dr. Slamet Muljana, menuliskan dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara (LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 155), “… aliran agama Islam yang sampai di Asia Tenggara paling dahulu ialah aliran Syi’ah. Aliran Syiah dibawa oleh para pedagang Gujarat (wilayah India sekarang), Persi, dan Arab pada permulaan abad ke-12 ke pantai timur Sumatra, terutama ke negara Perlak dan negara Pasai, dan mendapat dukungan dinasti Fathimiah di Mesir.”
Pernyataan ini diperkuat oleh sejarahwan negeri jiran, S. Q. Fatimi (yang juga dikonfirmasi sejarahwan Malaysia lainnya, Wan Hussein Azmi) tentang kedatangan Islam di Asia Tenggara. Dalam bukunya, Islam Comes to Malaysia (Singapore, Malaysian Sociological Research Institute, 1963), ia menceritakan adanya sebuah monumen yang ditemukan di Champa, Vietnam, yang terdiri dari batu nisan yang dibuat tahun 1039 serta sebuah tiang batu dengan aksara Arab bertarikh 1025-1035 Masehi.
Menurut Fatimi, M.P. Ravaisse yang menyelidiki tulisan tersebut mengatakan bahwa tampaknya isi dokumen ini menunjukkan bahwa di tempatnya ditemukan, sejak abad XI terdapat sebuah masyarakat kota. Mereka lain dari penduduk asli. Paham keagamaan dan adat istiadatnya juga berbeda. Kakek moyang mereka mestinya tiba satu abad sebelumnya. Kemudia, Fatimi menegaskan bahwa mereka adalah orang Arab Syiah.
Adapun sejarahwan terkenal, Prof. Dr. Aboebakar Atjeh dalam bukunya, Syi’ah di Nusantara (Islamic Research Institute, Jakarta, 1977), menulis, “Sekali-sekali bukanlah golongan salaf yang mula pertama masuk ke Indonesia menyiarkan agama Islam, boleh jadi juga golongan salaf, tetapi salaf Syiah, yang kebanyakannya dikejar-kejar oleh Bani Abbas di Timur atau Bani Umayah di Barat, lalu mereka lari ke Asia dan menyebarkan agama Islam disini.”
Lebih jauh, Prof. Aboebakar menyebutkan, “Keterangan yang lebih tua mengenai kedatangan mubaligh dari Persia dan India ke Nusantara, dapat kita baca dalam penyelidikan, yang dilakukan oleh dua ahli sejarah, yaitu Sayyid Moestafa At-Thabathaba’i dan Sayyid Dhiya’ Shahab yang terjadi sekitar bulan November 1960, berjudul ‘Hubungan Kebudajaan Indonesia-Iran’ (Haulal ‘Alaqatith Thaqafiyah Baina Iran wa Indonesia), yang diterbitkan dalam tahun 1339 oleh The Iranian Cultural Office Jalan Budi Kemuliaan 4 A Jakarta, Indonesia.”
“Diantara lain ia berkata, ‘Dekat Surabaya terdapat sebuah kota Gresik namanya, sebuah kota yang bersejarah di Jawa Timur. Di kota itu kami lihat bekasbekas yang sudah tidak terurus dan kuburan lama dari penyebar penyebar Islam dan Alim Ulama, diantaranya kuburan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat dalam th. 822 H atau 1419 M. Beliau adalah boleh jadi seorang Iran asal dari Kashan.’”
Demikianlah beberapa kesaksian sejarahwan yang, meski dipertanyakan kesahihan dan sumber-sumbernya oleh sejumlah sejarahwan kontemporer seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra (lih. Kata pengantar, Syiah dan Politik di Indonesia (Zainuddin, A. Rahman, dkk., PPW-LIPI & Mizan, Jakarta, 2000), membuka ruang bagi dilakukannya penelitian lebih luas, mendalam, dan komprehensif ihwal kehadiran Islam Syiah di Nusantara.
Selain kesaksian literer di atas, keberadaan Syiah dalam bentangan sejarah di Nusantara juga diindikasikan oleh sejumlah artefak budaya dan tradisi keislaman yang masih dipraktikkan sampai hari ini. Di antara artefak bersejarah yang mengindikasikan kehadiran orang Syiah di Nusantara pada abad 10 Masehi adalah sebuah makam di Gresik, Jawa Timur, atas nama Fathimah binti Maimun (nama “Fathimah” pada masa itu temasuk nama yang tabu dan terlarang untuk digunakan karena kebencian penguasa Arab terhadap segala hal yang berbau keturunan Nabi saw).
Adapun berkenaan dengan tradisi bercorak Syiah adalah, seimisal,, tradisi arak-arakan yang disebut “Hayok Tabui” di Pariaman, Sumatera Barat, pada setiap bulan Muharram, sebagai peringatan atas kesyahidan cucu Nabi saw, Imam Husain as di Karbala pada hari Asyura 61 H. Dengan begitu, tradisi ini khas bercorak Syiah. Tradisi yang hampir mirip juga terdapat di Ternate.
Di Jawa (Tengah dan Timur), terdapat tradisi “Grebeg Suro” yang kental dipengaruhi Syiah dan masih dipraktikkan sampai hari ini. Menurut tradisi ini, bulan Muharram dianggap sebagai bulan nahas dengan dasar bahwa di bulan ini, cucu Nabi saw yang bernama “Kasan” (Hasan) dan “Kusen” (Husain) dibunuh kaum yang zalim. Karena itu, orang-orang Jawa berpantang mengadakan perayaan pernikahan atau membangu rumah di bulan “Suro” atau Muharram.
Di Jawa Barat, dikenal pula tradisi yang dipraktikkan pada bulan Muharram, yaitu membuat dan mengonsumsi bubur “beureum-bodas” (merah-putih) yang diistilahkan dengan “bubur suro”. Konon, “beureum” merupakan perambang “darah kesyahidan Imam Husain” dan “bodas” menjadi simbol “kesucian” pribadi Imam Husain.
Rangkaian pengaruh tradisional Syiah juga merambah wilayah keagamaan di Nusantara, seperti Marhaban, Shalawat Diba’, tahlilan, haul, dan kenduri (yang secara istilah sekalipun berasal dari bahasa Parsi, “kanduri”, atau tradisi perjamuan untuk memperingati kelahiran putri baginda Rasul saw, Sayyidah Fathimah al-Zahra).
Kendati dengan semua komen, monumen, dan dokumen historis awal yang menunjukkan bahwa mazhab Syiah sudah eksis di Nusantara, komunitas Syiah di Indonesia baru berkembang pesat dan memiliki pengaruh pada tahap tertentu di tengah kehidupan masyarakat pasca revolusi Islam di Iran pada 1979. Diawali dengan kepergian sejumlah individu berusia muda untuk belajar di pusat pendidikan keislaman (hauzah) mazhab Syiah, Qum di Iran dan Najaf di Irak pada awal 1980-an (beberapa di antaranya bahkan sudah berada di sana sejak sebelum revolusi).