Syiah di Indonesia: 'Pendatang Baru'?

Syiah di Indonesia: 'Pendatang Baru'?
Photo by Unsplash.com

lambang_unsyiah.gif

Beberapa hari lalu, seorang teman meminta saya untuk membaca sebuah posting dalam milis yang diikutinya. Meskiagakogah-ogahan, demi menyenangkannya, saya pun membacanya. Ternyata isinya mengundang selera saya. Rupanya pengirimnya mengomentari aksi anarkisme terhadap beberapa orang yang dianggap sebagai penyebar aliran sesat (baca: Syiah). Ia mencoba untuk mengangkat sebuah hipotesa yang cukup tajam sekaligus menggelikan.

Meski mengaku penentang anarkisme, ia mengingatkan bahwa aksi anarki yang terjadi di Bangil itu adalah akibat dan reaksi serta kulminasi dari gerah terhadap orang-orang Syiah, yang menurutnya, tidak semestinya melakukan misionari di tengah masyarakat sunni.

Ia nampaknya mengemukakan vandalisme itu sebagai aploogi dan justifikasi implisit. Menurutnya, Syiah sebagai pendatang baru semestinya tidak mencari penganut di tengah masyarakat yang menganut mazhab yang lebih dulu ada, yaitu Sunni. Ia bahkan mengakhiri postingnya dengan menghimbau kepada orang-orang Syiah untuk untuk mempertimbangkan hal itu agar terhindar dari brutalisme.

Banyak poin lemah yang bisa ditemukan dalam posting 'asal nulis' itu, misalnya tidak adanya bukti nyata bahwa orang-orang Syiah mengajak orang-orang sunni untuk menganut mazhab Syiah. Apalagi tuduhan-tuduhan yang biasa dilontarkan adalah konsep taqiyah yang digunakan oleh orang-orang Syiah di Bangil.

Semestinya tuduhan demikian bisa dijadikan bukti penolakan karena bila orang-orang Syiah meyakini konsep taqiyah, maka itu membuktikan bahwa mazhab Syiah tidak berwatak misionaris. Nah, kalau untuk mengaku Syiah saja masih berhati-hati dan bersembunyi, maka tuduhan misionari menjadi kelihalangan subjek.

Poin lain yang juga perlu diperhatikan adalah fakta nyata tidak adanya lagi 'sunni sejati' sebagaimana plaform Sunni tradisional ala Abul-Hasan Asy'ari dengan teologinya. NU sendiri yang diyakini sebagai representasi dari teologi Sunni sekarang sedang mengalami transforamsi dan reformasi pemikiran. Munculnya fenomena Gus Dur lalu Ulil Absar Abdillah kemudian guntur Romli yang tumbuh dari lumbung-lumbung Sunni tradisional, yang kinimendominasi generasi muda NU, adalah bukti nyata akan trend ini. Sedangkan Muhammdiyah, Persis dan Al-Irsyad sejak semula telah menunjukkan kehendak untuk tidak serta merta menduplikasi pandangan orisinil Sunni.

Poin ketiga yang tak patut diabaikan adalah perlunya memperjelas hot isu. Apakah 'Sunni' itu nama barang ataukah merek dagang? Bila ditilik substansinya (makna), maka siapapun yang merasa mengikuti Sunnah Nabi saw, berhak menyandang predikat (nama barang) 'sunni',teramsuk Syiah dan lainnya. Bila 'sunni' diperlakukan sebagai merek dagang, maka iasebuah simbol yang menjadi hak paten sebuah institusi atau perusahaan. Hingga kini NU dan kelompok-kelompok Islam lain di indonesia sedang memperebutkan hak paten ini. Yang menggelikan kelompok 'wahabi hardcore' seperti Jakfar Talib dan kelompoknya sempat mengkalim sebagai sebagai 'Lazkar Ahlussunnah'. Selain itu, kata 'salaf' juga masih menjadi sengketa di antara mereka.

Tapi poin yang paling menarik adalah anggapan Syiah sebagai pendatang baru di Indonesia. Benarkah Indonesia yang berpenduduk mayoritasMuslim ini hasil perjuangan para pendakwah dari satu mazhab saja?

Proses sinkretisasi antara Islam dengan kebudayaan setempat di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Nusantara. Teori Gujarat menyatakan bahwa pembawa Islam yang pertama kali masuk ke Nusantaraadalah pedagang-pedagang yang datang dari Gujarat yang sangat kental dengan budaya Persia.

Itu berarti,yang pertama kali masuk ke nusantara adalah Islam versi Persia-Gujarat (Syiah). Ajaran pantheisme (kesatuan wujud, union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan Sumatera merupakan pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi) yang tidak harmonis dengan akidah Asy'ariah, apalagi Islam wahabi yang literal. Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di Jogjakarta dan Ponorogo adalah situs teologi Syiah yang datang dari Gujarat-Persia.

Kedatangan para pendakwah Islam dari Saudi Arabia (yang sebelumnya dikenal dengan jazirah atau Hijaz) telah membuka sebuah babak baru benturan antara Islam Gujarat-Persia-Syiah dan Islam Arab-wahabi. Agaknya inilah yang bisa dianggap sebagai embrio konflik antara literalisme dan rasionalisme di Indonesia.

Pada masa-masa berikutnya, terhentinya arus kedatangan pedagang dan pendakwah dari Persia telah membuka kesempatan bagi kedatangan para pendakwah Islam dari Arab.Inilah yang menandai berakhirnya pengaruh mazhab Syiah di Indonesia. Kini yang tersisa hanyalah situs-situs budaya dan peninggalan sejarahnya.

Namun yang perlu diperhatikan, ada dua jenis pendakwah Arab yang tidak bisa dianggap sama, yaitu pendakwah dari Yaman (Hadhramaut) yang membawa Islam mazhab Syafii dan pendakwah dari Saudi Arabia yang menyebarkan Islam wahabi atau Salafi. Islam Sunni yang direpresentasi oleh NU di Indonesia adalah himpunan mazhab kalam Abul-Hasan Asy'ari dan empat mazhab fikih serta tasawuf Ghazali, sebagaimana ditegaskan dalam Qanun Asasinya.

Sedangkan Islam wahabi didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb (1111 H/1700 M- 1206 H/1792 M).Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 14 M. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Siria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashra selama 4 tahun. Tatkala pulang ke kampung halamannya ia menulis bukunya yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya,Kitâbut’Tauhîd. Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn. Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah.

Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum SunniSegala yang dianggapnya tidak dilakukan Nabi, dianggap bid’ah. Tapi ia sendiri tidak melakukan penelitian yang cermat terhadap biografi Nabi. Itu sebabnya, tatkala pemerintah Saudi ‘terpaksa’ menggunakan telepon, TV, radio dan lain-lain,kaum Wahhabi ini melakukan perlawanan keras. Tetapi hadis-hadis yang mewajibkan Muslim taat pada pemerintah yang baik maupun yang fasik yang banyak sekali jumlahnya, digunakan pemerintah untuk menahan dan menganggap mereka sebagai pembangkang bahkan teroris.

Kemenangan suku badui dari klan Saud sangat bergantung pada dukungan Kolonialisme Inggris. Berkat gucuran dana, suplay senjata dan pendidikan keterampilan, kekuasaan Ibnu Su’ûd menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang masa itu berada dalam kekhalifahan ‘Utsmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu.Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia. Sejak itu Hijaz menjadi harta mutlak hanya satu keluarga bernama Al-Saud, dan menjadi nama negaranya.

Karena dianggap sebagai tempat kelahiran Nabi, banyak orang Indonesia yang tanpa sadar mengirimkan anaknya ke Hijaz, yang saat itu sudah berubah menjadi Saudi Arabia,untuk mempelajari agama Islam di sana dengan harapan menjadi penguat Islam di Tanah Air dan kampung halamannya. Namun,karenapaham Wahabi menjadi mazhab resmi di Arab Saudi dan sejumlah negara Teluk sejak keruntuhan kerajaan Turki Ottoman (yang diratapi oleh sebuah ormas Islam di Indonesi), para pelajar itu pulang ke Indonesia dengan membawa paham wahabi. Sejak saat itulah wahabi masuk ke Indonesia.

Kaum Wahabi melakukan sejumlah aksi misionari dengan mengusung jargon ‘pemurnian Islam’ dan ‘pembasmian TBC’ (takhayul, bidah dan khurafat), sepertitahlil, maulid dan semacamnya, seraya menganggapnya sebagai pengaruh paham Syiah yang dianggap sesat bahkan kafir. Konflik pun tak terhindarkan.

Konflik terjadi pertama kali di di Indonesia pada abad 19 di Minang Kabau. Kemunculan kelompok ini menimbulkan perang terbuka dengan kalangan muslim lain, yang mayoritas beraliran Sunni (Syafii) dan Syiah yang dikenal dengan perang Paderi. Konflik ini menjadi amunisi bagipemerintah kolonial Belanda untuk menguatkan cengkramannya. Paham ini dalam versinya yang lebih moderat dianut oleh ormas keagamaan seperti Persatuan Islam (Persis) yang mempunyai basis di Bangil dan Bandung. Metode dakwahnya yang kasar dengan membidahkan tahlil dan tradisi-tradisi lainnya, melaui majalah Al-Muslimun, cukup mengundang kecaman dan penentangan dari para kyai NU, terutama pada masa hidup Hasan Bandung dan putranya, Abdulkadirز

Pada awal 90 an gerakan Salafi memisahkan diri dari gerakan Tarbiyah dan mendirikan gerakan tersendiri yang lebih radikal. Tidak seperti kelompok Tarbiyah yang berbasis di daerah Jawa Barat, kelompok ini mengambil basis di beberapa kota besar di Jawa Tengah, seperti Jogjakarta dan Solo. Kini kelompok salafi radikal dikenal dengan ‘mazhab Saudi’, sedangkan yang lebih moderat diseknal dengan ‘mazhab Kuwait’.Dua negara kaya minyak ini, secara institusional mapun individual, memang dikenal sebagai donaturnya.

Kelompok Salafi juga aktif menyebarkan pandangan-pandangannya melalui buku, buletin dan majalah murah meriah, bahkan sebagian dibagikan secara gratis. Majalah-majalah hot jenis kedua juga menjadi corong misionarinya. Kelompok ini juga menggunakan media rekaman kaset ceramah/pidato tokoh-tokohnya yang disebarkan secara internal dari tangan ke tangan (dalam lingkungan gerakan) sebagai metode dakwah dengan materi dakwah yang sangat-sangat radikal, seperti menyebarkan kebencian terhadap para penganut agama selain Islam, bahkan selain Wahabi.

Semula yang melakukan penentangan terhadap Wahabisme adalah para kyai dari kalangan santri (Nahdliyyin) yang merupakan representasi dari Islam Sunni.Pesantren-pesantren dijadikan sebagai basis pendidikan untuk melawan arus misionri wahhabi yang tidak pernah kehabisan dana. Pendirian sejumlah ormas yang menjadi 'wahabirakitan lokal (tentu tidak menggunakan nama Wahabi), lalu pendirian LPBA yang kemudian diganti dengan LIPIA juga pengiriman guru-guru 'build-up' dari Saudi ke Indonesia menandai keberhasilan Wahabisme di Indonesia. Ia yang semula ditentang secara besar-besaran karena anti tahlil dan wirid, kini diterima sebagai bagian dari umat Islam. Ormas-ormas non NU pun akhirnya diterima.

Namun Wahabisme tidak selalu bernasib baik. Dalam perkembangannya radikalisme yang berkembang di lingkungan kelompok ini akhirnya memancing keretakan dan konflik horizontal diantara mereka sendiri. Fenomena radikalisme Juhaiman yang menguasai Masjidil Haram beberapa tahun silam, Ben Laden dengan Al-Qaedah serta Talibanisme melahirkan perpecahan dalam simpul-simpul Wahabisme.

Di Arab Saudi, tempat kelahirannya,wahabisme radikal mulai mendapatkan tekanan dari aparat Kerajaan. Islam Sunni yang semula dianaktirikan, mulai mendapatkan kelonggaran. Muslim Syiah, yang menjadi mayoritas di wilayah Timur, mulai diperlakukan dengan baik. Karena itu, saya mulai saat ini membagi wahabisme menjadi dua; yang moderat seperi keluarga Saud yang sudah tidak lagi mengangkat celana di atas mata kaki (malah pakai jubah yang menyapu tanah dan kadang pakai dasi dan minum wine).

Yang mengharukan, sebagian orang tidak cukup cerdas untuk membedakan antara Sunni asli Indonesia (Syafii) dan wahabi (Sunni anti Asy'ari), yang belakangan mulai memakai nama Ahlussunnah sebagai strategi cerdiknya. Bahkan sebagian menganggap radikalisme sebagai pertanda relejiusitas dan keteguhan beragama.

Read more