Skip to main content

SYIAH INDONESIA DAN SIKAP TERHADAP AHOK

By November 22, 2016No Comments

Sejatinya memilih pemimpin yang seagama, apalagi dianut mayoritas, bagi negara atau propinsi atau perusahaan atau organisasi bukanlah kejahatan dan tidak bisa serta merta dicap sebagai ekstremisme. Agama dan keyakinan memang dipilih karena dipastikan sebagai kebenaran atau yang paling benar. Karena itu, menjadikan kesamaan dalam agama dan kesamaan lainnya dapat dipahami dan logis. Hanya saja, mekanisme dan cara yang ditempuh untuk memenuhi tuntitan harus konstitusional dan tidak mengorbankan kepentingan yang lebih utama.
Di Iran yang dianggap sebagai negara berasas Islam, misalnya, pemimpin negara alias presiden pasti beragama Islam. Ini bukan karena desakan mayoritas, juga bukan karena demo damai atau demo ramai, tapi semata-semata karena itulah yang ditetapkan dalam konstitusi yang merupakan produk lembaga perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung.
Tuntutan perubahan, bahkan pergantian pemimpin sebuah propinsi alias gubernur serta aspirasi politik lainnya adalah sah karena undang-undang negara menjaminnya. Namun menetapkan syarat tertentu bagi calon pemimpin harus sesuai dengan aturan yang telah disepakati dan ditetapkan dalam undang-undang, termasuk amandemen.
Memang akan lebih elok bila penentangan terhadap seorang calon pemimpin atau petahana didasarkan pada kebijaksanaannya yang dianggap bertentangan dengan keadilan. Menuntut diadilinya seseorang, apapun jabatannya, atas dugaan penodaan agama juga tidak salah, karena undang-undang juga menetapkannya sebagai pelanggaran hukum.
Yang lebih penting dari pro dan kontra adalah kemaslahatan komunitas, kemaslahatan umat dan kemaslahatan bangsa. Komunitas merupakan tubuh besar yang menghimpun individu-individu dengan kesamaan-kesamaan spesifik termasuk kemazhaban (golongan), keormasan, kesukuan, juga kedaerahan. Umat merupakan tubuh yang lebih besar sebagai wadah bagi ragam komunitas dengan kesamaan agama Islam yang dianut sebagian besar masyarakat di negeri kita. Bangsa adalah tubuh terbesar yang menghimpun para umat beragama Islam dan lainnya yang diikat oleh kontrak sosial yang diejawantahkan dalam sebuah institusi negara dengan Pancasila dan UUD sebagai asasnya. Dengan kata lain, ketiga prinsip tersebut harus dijunjung tinggi secara simultan maupun serempak.
Mayoritas masyarakat adalah penganut Islam toleran yang direpresentasi oleh dua ormas besar NU dan Muhammadiyah. Ekstremisme dan intoleransi hanyalah limbah dan anomali yang tidak akan pernah diterima oleh bangsa yang santun dan beradab ini.
Adanya anasir intoleran yang menumpang dalam sebuah gerakan publik sangatlah sedikit dan tidak cukup jadi dasar untuk menganggapnya secara general sebagai arus massa intoleran apalagi takfiri. Inilah sikap toleran da pandangan moderat yang mungkin layak diperhatikan. Tentu mewaspadai bahaya intoleransi dan ekstremisme atas negara ini menjadi tanggungjawab Pemerintah dan kita semua.
Bila merasa belum cukup untuk menentukan sikap terhadap isu seputar kebijaksanaan gubernur yang dinilai anti kezaliman atau pro kezaliman, atau merasa tidak cukup punya data untuk menentukan sikap tentang pernyataannya sebagai penodaan agama atau tidak, bersikap abstein seraya menghormati para penentang dan pendukungnya adalah cermin kematangan dan toleransi.
Kelompok penentang tak perlu menuduh kelompok pendukung sebagai tak membela agamanya. Kelompok pendukung juga tak usah menuduh kelompok penentang sebagai intoleran.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah, belakangan ini beredar sebuah isu yang kurang jelas sumbernya bahwa komunitas Syiah di Indonesia mendukung salah satu calon gubernur DKI yang oleh beberapa kelompok umat Islam dianggap menodai agama. Isu ini perlu diluruskan agar tidak terus menyebar dan menimbulkan kesalahpahaman supaya sikap netral komunitas mazhab ini tidak terganggu.
Kenetralan sikap politik komunitas Syiah adalah konsekuensi niscaya, karena komunitas ini selalu mengutamakan konstitusi negara dimanapun berada. Sikap politik masyarakat Syiah di Iran tentang syarat kemusliman bagi pemimpin negara berbeda total dengan sikap kelompok Syiah di Lebanon yang justru mayoritasnya mendukung presiden Kristen Michel Oun. Perbedaan sikap ini mengikuti sistem dan konstitusi negara masing-masing.
Karena itu perlu semacam klarifikasi dan penegasan. Pilihan politik setiap warga negara yang bermazhab Syiah tidak akan pernah diwakili oleh sikap politik seseorang, seluas apapun jangkauan sebaran tulisannya atau popularitasnya. Mazhab bukan pemilih, bukan warga negara manapun, bahkan bukan manusia yang bisa memilih.
Hal itu karena pilihan politik dalam konteks pilpres dan pilkada merupakan bagian dari identifikasi subjek hukum (spesifik, minor) sebagai taklif (tanggungjawab normatif) setiap individu (mukallaf) atas setiap pandangan, sikap dan tindakannya.
Tentu, mempertimbangkan pandangan mukallaf lain yang diyakini lebih kompeten, objektif dan bijak terutama memahami peta politik Indonesia untuk menentukan pilihan politiknya tidak dilarang, meski pemikul pertanggungjawaban moral dan legalnya adalah diri sendiri.
Akhir kata, silakan mendukungnya tanpa menghina yang menolaknya, dan silakan menolaknya tanpa menghujat yang menerimanya. Damailah Indonesia kita semua!