Skip to main content

Saat polemik-polemik sektarian makin memanas dan konflik di arena umat makin sering terjadi, norma dan etika agama bahkan yang paling asasi pun kadang diterjang. Akibatnya, muncullah fanatisme dan ekstremisme pada lapisan awam bahkan ulama dalam dua kelompok tersebut.

Ekstremisme yang muncul dari kelompok Sunni, selain mengkafirkan kelompok kecil (Syiah) mengkafirkan kelompok sendiri yang tidak mendukung pandangan ekstremnya yang skriptual.

Hadirnya kelompok yang mengklaim paling Sunni atau menngaku sebagai satu-satunya sunni aski ini menimbulkan konflik internal sekaligus memancing reaksi dan memberikan alasan bagi anasir fanantik dan ekstremis dalam kelompok kecil (Syiah).

Kini mayoritas Sunni dan mayoritas Syiah yang lelah konflik dan sadar akan pentingnya mengesampingkan perbedaan-perbedaan elementer dan menjalin kerukunan diatas kesamaan-kesamaan prinsipal, menghadapi bahaya internal masing-masing, yaitu intoleransi, ekstremisme dan takfirisme.

Ekstremisme dalam masyarakat Sunni sering muncul dengan pembid’ahan tradisi-tradisi positif yang telah dirawat sebagai ekspresi kecintaan kepada Nabi dan keluarganya, pensyirikan ziarah makam para wali, dan penyesatan setiap pandangan yang berbeda dengan pandangan skriptualnya.

Ekstremisme dalam masyarakat Syiah terjadi akibat trauma isolasi dalam lingkungan yang monolitik dan homogen dan ketertinggalan dalam mengikuti laju dinamka zaman.

Karena merasa aman dari resistensi kelompok lain yang berbeda atau yang membencinya, anasir yg terjangkit disorde bipolar mencoba menghadirkan diri dalam komunitas yang rasional dan moderat dengan melakukan penajaman isu sektarian melalui ujar kebencian dan pengkafiran terhadap kelompok Sunni dan penyesatan terhadap arus moderat.

Karena tidak mampu mengikuti laju dinamika zaman, mindset yang terbentuk dalam lingkar otak kelompok ini tetap tak tersentuh paradigma dan perpektif baru yang digagas sebagai tuntutan kompleksitas problema manusia di zaman microchip ini. Kelompok kecil ini tidak mengevalusi dan beradaptasi dengan iklim yang baru ini, justru menganggap kesadaran koeksistensi Sunni dan Syiah sebagai ancaman terhadap eksistensinya. Karena itu, kelompok ini mendaur ulang isu-isu dan sentimen sektarian purba yang telah dibuang jauh-jauh oleh mainstream moderat Syiah, lalu mengeksposnya kembali.

Arus moderat Syiah yang direpresentasi oleh dua tokoh sentral, Ayatullah Uzhma Khamenei dan Ayatullah Uzhma Sistani, yang didukung oleh mayoritas ulama, terlihat cukup aktif dan memberikan pukulan telak di Iran dan Irak.

Kini kelompok desktruktif ini rajin mencari arena di Eropa melalui chanel-chanel televisi satelit yang dibiayai secara besar-besaran. Beberapa ulama karbitan disebar dan ditampilkan secara massif sebagai ulama dan pemikir melalui akun-akun Twiiter dan Facebook,

Akhir-akhir ini beberapa gelintir orang atau akun anonim berbahasa Indonesia di media sosial yang mengaku Syiah di Indonesia secara intensif melakukan pembusukan internal, memunculkan khurafat yang kini telah dibuang jauh dari keyakinan Syiah dan melakukan pencacian sahabat serta istri Nabi. Anasir ini juga mencaci Imam Khamenei, ulama terkemuka Syiah yang mengharamkan pencacian sahabat dan istri Nabi.

Akar dari ekstremisme ini adalah 1) Memahami teks dengan mengabaikan konteks. Ini hampir mirip dengan wahabisme. 2) Mencampuradukkan dimensi de jure (das sollen) dengan dimensi de facto (das sein). 3). Menafisikan dimensi vertikal dan horizontal dalam menafsirkan isu-isu agama. 4) Menolak prinsip kebangsaan dan menolak eksistensi bangsa, sekaligus menafikan perbedaan terma “ummah” dan “sya’b” (bangsa). 5). Memandang konflik sebagai bagian dari spirit dan risiko perjuangan tanpa mengedepankan empati dan sens of belonging terhadap para korban konflik sektarian yang setiap hari berjatuhan, karena tidak merasa menjadi korban.

Bersambung