Banyak orang yang bingung bahkan kaget saat berada di Masjid al-Haram di Mekkah, terutama pada musim haji, saat melihat aneka cara shalat dan ibadah para jemaah. Ada yang shalat dengan bersedekap, dengan segala variasinya mulai dari sedekap di bagian tengah dada sampai sedekap dekat pusar (bahkan ‘maaf’ di bawahnya) atau bahkan di dada sebelah kanan). Ada pula yang tidak bersedakap. Bukan hanya itu, sebagian orang mempertanyakan gaya pemakaian kain ihram yang berbeda-beda.
Kebingunan dan rasa keget itu diekspresikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang menggelikan, “bagaimana sih cara Nabi shalat dan berhaji?” atau “Mungkinkah Nabi mengajarkan banyak cara shalat?” “Bukankah shalat yang benar adalah bersedekap sebagaimana umumnya di Tanah Air?!”.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu biasanya dilontarkan oleh orang yang kurang atau bahkan tidak mengetahui seluk beluk dan latar belakang munculnya ragam mazhab dalam tubuh umat Islam. Sebagian besar dari kita, di Tanah Air, sejak terlahir hanya diajarkan atau meniru satu cara beribadah, dan karenanya, meyakini bahwa dalam Islam hanya ada satu cara beribadah dalam shalat, puasa dan lainnya. Padahal bila ditelusuri dan dilakukan reka-ulang terhadap perjalanan sejarah hukum fikih, maka kita akan segera menyadari bahwa sebagian besar hukum fikih adalah produk penyimpulan orang-orang yang dianggap sebagai fukaha (fuqaha’) dan mujtahid, yang masing-masing memiliki cara dan sumber yang berbeda-beda.
Dengan mempelajari latar belakang kemuncualan mazhab-mazhab, terutama dalam bidang fikih, kita akan segera menerima perbedaan dan tidak serta merta menganggap mazhab yang kita anut sebagai yang paling benar dan tidak pula menganggap mazhab yang dianut selain kita sebagai ‘menyimpang’, sesat bahkan kafir.
Kesadaran akan keragaman dalam proses penyimpulan hukum ini akan sangat membantu terciptanya iklim sosial yang sehat dan dewasa.