Nasihat tentu saja baik. Bahkan al-Quran menyebut orang yang beriman kepada Tuhan sangat suka dan terbiasa saling menasihati. Salah satunya adalah nasihat yang belakangan banyak beredar di sosmed, “Semua pengeluh tak percaya janji Tuhan yang memenuhi rezeki setiap makhluk.”
Nasihat itu benar adanya. Tapi tidak berlaku umum. Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan, siapa yang mengeluhkan keadaannya pada orang yang beriman, sama saja dengan mengeluh kepada Tuhan.
Sebaliknya, tindakan mengeluh akan jadi buruk bila dilakukan orang yang mampu mengatasi masalahnya sendiri. Keluhan orang semacam itu sama saja dengan menggadaikan kehormatan diri demi memuaskan keinginannya dan hidup terhina.
Karenanya, tidak semua mengeluh itu buruk dan mencerminkan sikap tidak bertawakal. Jangan kesusu mencemooh siapa pun yang mengeluh. Bahkan secara struktural, mengeluh dapat menjadi ekspresi perlawanan kaum lemah terhadap sistem sosial yang mencipta dan merawat kompetisi sadis dan dominasi kawanan kapitalis rakus.
Berapa banyak orang tutup mulut dengan keadaannya lantaran takut dicap pengeluh. Padahal kondisi mereka sedang di ujung tanduk; setengah hidup, ekonominya semaput, belum lagi disiksa penyakit kronis yang membuatnya harus meregang nyawa. Selain itu, tak sedikit orang yang membiarkan dirinya dizalimi pasangan resminya lantaran malu mengungkapkan atau takut dilabeli pengemis iba.
Mengungkapkan masalah kepada orang terpercaya dan kompeten bukanlah mengeluh sebagaimana dipahami khalayak. Justru itu merupakan proses katarsis yang, secara psikologis, sangat diperlukan.
Katarsis adalah pelepasan emosi atau keluh kesah yang tersimpan dalam ruang batin. Dalam perspektif psikologi, katarsis juga dimaknai sebagai cara melampiaskan emosi secara positif agar seseorang merasa lebih lega dan dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan emosi lebih baik.
Marah, sedih, takut, dan kecewa merupakan bentuk emosi yang normal dialami setiap manusia. Kendati normal, emosi sebaiknya disalurkan agar tidak menumpuk dalam ruang batin. Namun, diperlukan cara yang tepat untuk melampiaskan emosi. Salah satunya, ya itu tadi, melalui katarsis.
Di pihak lain, sebagaimana umum di tengah masyarakat religius seperti Indonesia, keengganan membantu kaum lemah akibat kekikiran atau kerakusan acap disembunyikan di balik bedak berupa teks suci. Tentu saja makna teks suci itu sudah lebih dulu direduksi, dimanipulasi hingga dilucuti konteksnya sampai bugil.
Orang lapar, sakit kronis, atau teralienasi tak punya cukup waktu untuk membaca dan mengunyah bongkahan nasihat. Bantuan nyata dan segera, itulah yang realistis dan niscaya mendahului katarsis sebagai cara melawan tekanan eksternal berupa kezaliman sistemik.
Kezaliman beda dengan perbuatan zalim yang hanya berkisar soal pelaku dan korban. Kezaliman secara kultural adalah karakter. Ini berkaitan dengan mutu moralitas yang sayangnya makin langka di Tanah Air dan kian merosot, justru di saat gawat seperti di tengah wabah corona dewasa ini.
Sementara secara struktural, kezaliman adalah sistem yang kini dibangun, didominasi, dan dilestarikan kapitalisme lewat tangan segelintir kapitalis serakah, yang pada gilirannya mengkonstruksi perilaku dan kebiasaan masyarakat.
Ingat, pertolongan Tuhan tidak dikirim dari langit layaknya barang COD melainkan lewat proses dan hukum kausal. Dalam konteks ini, manusia yang berempati dan sadar akan kejamnya kapitalisme, lalu berani mengekspresikan perlawanannya dengan, salah satunya, “mengeluh” (yang dalam bahasa sosiologi diistilahkan dengan “kritik”) adalah syarat determinan (penentu).
Diceritakan, ketika ditanya, “Jika rezeki setiap makhluk-Nya telah ditetapkan, mengapa ada yang sangat miskin dan terlalu kaya?” Imam Ali bin Abi Thalib menjawab, “Itu akibat rezeki sebagian makhluk dirampas!”