TAK TAHU, TAK MEMBERITAHU

TAK TAHU, TAK MEMBERITAHU
Photo by Unsplash.com

Urgensi Pengetahuan

Pengetahuan (knowlegde, sebagai frasa yang luas dari sains) adalah dasar tindakan dan sikap setiap orang. Hukum aksiomatik "supremasi kompetensi" ini berlaku dalam semua ilmu dan segala bidang. Ini berlaku atas siapa yang dianggap kompeten seperti rujukan untuk penyembuhan, rujukan untuk penyelesaian sengketa hukum dan rujukan dalam persoalan agama. Ini juga berlaku atas siapapun yang merujuk kepada setiap rujukan dalam aneka bidang, meski kualitas pengetahuan kedua pihak berbeda.

Semua pengetahuan dapat dibagi berdasarkan perbedaan objeknya dalam dua rumpun, yaitu
1. Pengetahuan tentang objek fisikal (sains, positif).
2. Pengetahuan tentang objek metafisikal (filsafat dan agama). Selain sains natural dan sosial yang telah dibakukan dalam struktur sains modern oleh August Comte, pengetahuan non saintifik meliputi filsafat dan agama.

Kompetensi dalam Sains Positif

Kedua rumpun ini berdiri di atas kompetensi kecuali agama yang berdiri di atas kompetensi demi membuahkan trust bagi yang tidak kompeten (pasien bagi dokter, klien bagi ahli hukum dan lainnya) juga legitimasi demi meniscayakan keterikatan dan kepatuhan bagi yang tak punya kompetensi dan legitimasi (awam atau umat).

Orang yang kompeten harus memiliki pengetahuan detail dan mendalam yang dapat dijadikan sebagai acuan kriteria kompetensinya. Pengetahuan yang harus dimiliki oleh pihak kompeten diperoleh dengan kesungguhan (mengabaikan kenikmatan dan kenyaman), konsentrasi (tak melebar dan menghindari disorientasi) dan maksimalisasi upaya dalam belajar sesuai metode yang ditetapkan sebagai cara logis dan prosedural meraih kompetensi. Pengetahuan yang menghasilkan kompetensi membuahkan (meniscayakan) kepercayaan bagi yang tak kompeten.

Orang yang tak kompeten (pasien dalam sains natural dan klien dalam sains sosial) dan umat (dalam agama) juga harus mempunyai pengetahuan umum tentang dasar mengidentifikasi kompetensi dan legitimasi. Dengan kata lain, perlakuan dan respon pihak tak kompeten hanya bisa dianggap benar dan tepat secara logis dan prosedural bila didasarkan atas pengetahuan.

Seseorang yang memang mempelajari ilmu kedokteran dan menguasainya tak memerlukan persetujuan publik. Pasien yang merupakan salah satu anggota publik berhak mencari alasan logis atau bukti empiris untuk menyelidiki fakta ke-dokter-annya lalu merujuk kepadanya. Bila tak mempelajari kedokteran, mestinya tak mengklaim mengetahui kedokteran. Bila tak mengetahui kedokteran, mestinya tak berlagak dokter. Bila tak berlagak dokter, mestinya tak memperlakukan orang lain sebagai pasien. Bila tak memperlakukan orang lain sebagai pasien, mestinya tak memberinya resep.

Kepercayaan

Kepercayaan pasien kepada dokter mengharuskannya mengambil beberapa keputusan logis sebagai berikut:
A) Memahami esensi kompetensi dan urgensinya. Dengan kata lain, tidak menjadikan selain kompetensi sebagai asas tindakan demi mengobati penyakit yang dideritanya, seperti asas kedekatan personal, harga murah dan lainnya kecuali dijadikan sebagai asas penunjang bagi asas kompetensi;
B) Menerima konsekuensi dari esensi dan urgensi kompetensi. Dengan kata tidak lagi meragukan kompetensinya meski belum tentu resep obat yang diberikannya tepat atau menyembuhkan penyakitnya, apalagi ikut memberikan saran obat kepadanya tanpa pengetahuan;
C) Mengambil langkah dan bertindak sesuai asas kompetensi. Dengan kata lain, mengambil tindakan yang dapat menjamin kemungkinan terbesar bagi penyembuhan alias berobat sesuai asas kompetensi.
D) Memastikan kompetensi sebagai sesuatu yang gradual. Dengan kata lain, mencari dan menentukan dokter yang paling unggul dalam kompetensi demi menjamin kemungkinan kesembuhannya lebih besar.

Pengetahuan Agama

Agama dalam konteks epistemologi secara luas adalah info-info yang berhubungan dengan nilai-nilai ketuhanan. Bidang agama berdasarkan sumber penetapannya dapat dibagi dua;
A) konsep-konsep rasional yang merupakan dasar-dasar pengetahuan agama. Inilah yang harus dimiliki oleh setiap penganut meliputi ketuhahan, kewenangan dan kebangkitan dalam standar minimal yang cukup mengantarkannya kepada aksioma keniscayaan dan urgensi kepatuhan dan keterikatan.
B) Info-info yang merupakan produk konten ajaran agama yang diturunkan dari dasar-dasar pengetahuan agama. Inilah yang harus dimiliki oleh sebagian pemeluk karena bersyarat kompetensi dan legitimasi. Dengan kata lain, bertaqlid kepada orang kompeten adalah taqlid melek alias berbasis kesadaran rasional, bukan taqlid buta.

Otoritas dalam Agama

Kompetensi dan otoritas (legitimasi) dalam bidang agama yang meniscayakan kepatuhan tak didasarkan pada penerimaan umat. Kewenangan seorang nabi terbentuk dan diperoleh karena penunjukan Tuhan meski publik tak mengakui bahkan menolaknya.

Tanpa dasar pemahaman rasional sebagai hasil dari usaha inteleksi sendiri tentang kewenangan (Ketuhanan), pengamalan agama menjadi sia-sia. Umumnya, perintah dan anjuran serta nasihat juga teguran yang kerap diulang-ulang para narator info agama tak direspon secara aktual karena publik tidak (tidak pernah) diberi premis-premis rasional yang dapat dijadikan sebagai bahan atau data fundamental tentang prinsip-prinsip logis kemestian kebertuhanan (dengan prinsip-prinsip turunannya yang integral, kewenangan dan kebangkitan) yang meniscayakan kepatuhan.

Seseorang yang merupakan salah satu umat atau awam harus mencari alasan logis untuk menyelidiki fakta ke-agamawan-nya agar percaya tentang kompetensi dan kewenangan serta merujuk kepadanya dan melaksananya secara benar menurut aturan yag berlaku umum.

Ada dua macam pola hubungan antara awam dan faqih
a) Hubungan umat (mukakallaf) dengan faqih yang mempunyai kompetensi. Dalam konteks ini, asas hubungan ini adalah keunggulan kompetensi (dalam bidang penyimpulan hukum dari sumber teks suci) seperti hubungan pasien dengan dokter yang dianggap unggul di antara semua dokter yang diketahuinya. Dengan kata lain, awam merujuk kepada faqih atau mujtahid sebagai referensi (marja').
b) Hubungan umat dengan faqih yang mempunyai kompetensi dan otoritas. Dalam konteks ini asas hubungan ini adalah legitimasi yang membuahkan kepatuhan, yaitu hubungan umat dengan pemegang kewenangan yang diperolehnya secara vertikal dari Tuhan melaui Nabi dan imam suci (sesuai mazhab Ahlulbait).

Yang perlu diketahui adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Sekadar dipanggil ustadz, ulama, alim, kyai dan sebutan lainnya atau digemari atau diikuti oleh banyak orang atau mengklaimnya tidak berarti memang kompeten dalam pengetahuan agama.
2. Seseorang yang memang kompeten di sebuah bidang agama tak serta merta kompeten di semua bidang agama, apalagi tak terbukti punya kompetensi dalam sebuah bidang.
3. Semua ahli agama (yang kompeten) bisa disebut ahli agama atau alim juga ulama (jamak alim) dan dipanggil dengan aneka sebutan. Tapi hanya yang kompeten dalam bidang fikih (disebut faqih) yang punya kompetensi dalam penyimpulkan hukum atau mujthid.
4. Tak semua faqih (kompeten) punya otoritas dan kewenangan untuk dipatuhi. Sebagian faqih adalah rujukan dalam penyimpulan hukum agama karena memenuhi syarat kompetensi dan kualifikasi. Tapi hanya seorang faqih di antara seluruh faqih yang punya kompetensi plus otoritas untuk dipatuhi.
5.Tak semua masalah hukum harus diambil dari ahli fikih yang kompeten. Hanya hukum-hukum zhanni (spekulatif) yang harus didasarkan pada hasil penyimpulan ahli fikih yang kompeten.
6. Tak semua info dan pengetahuan agama harus diambil dari agamawan kompeten. Banyak hal logis dalam agama yang bisa dipelajari dan dipahami secara autodidak.

Kepatuhan

Kepatuhan individu umat kepada ahli agama yang terbukti kompeten mengharuskannya mengambil beberapa keputusan logis sebagai berikut:
A) Memahami esensi kompetensi dan urgensinya. Dengan kata lain, tidak menjadikan selain kompetensi sebagai asas tindakan demi mengobati penyakit yang dideritanya, seperti asas kedekatan personal, harga murah dan lainnya kecuali dijadikan sebagai asas penunjang bagi asas kompetensi;
B) Menerima konsekuensi dari esensi dan urgensi kompetensi. Dengan kata tidak lagi meragukan kompetensinya meski belum tentu produk ajaran agana yang disimpulkannya tepat atau sesuai kehendak Tuhan dan Nabj di balik teks yang dipelajarinya, apalagi ikut memberikan saran pandangan hukum kepadanya tanpa bekal pengetahuan;
C) Mengambil langkah dan bertindak sesuai asas kompetensi. Dengan kata lain, mengambil tindakan yang dapat menjamin kemungkinan terbesar bagi pelaksanaan ajaran agama sesuai asas kompetensi.
D) Memastikan kompetensi sebagai sesuatu yang gradual. Dengan kata lain, mencari dan menentukan ahli agama yang paling unggul dalam kompetensi demi menjamin kemungkinan terlaksananya ajaran agama secara benar sesuai prosedur yang ditetapkan rasio atau agama atau disepakati para agamawan

Read more