Dua tahun kita, seluruh warga bumi, dikepung wabah virus corona. Beragam cara ditempuh untuk melawan dan mengelak dari paparannya. Sudah banyak dilakukan upaya untuk menemukan vaksin.
Bukannya mati, sang virus malah bermutasi. Ketakutan pun kian mencekik. Mestikah kita takut? Sebagian orang sesumbar, hanya takut Tuhan yang akbar. Tapi, faktanya, mereka tetap saja takut.
Ya, takut adalah situasi mental yang muncul dari konsepsi sesuatu yang tak diharapkan. Secara ilmiah, rasa takut terjadi akibat kewaspadaan dari area tertentu di organ otak (yang disebut amigdala) terhadap situasi menakutkan yang memicu sekresi hormon perangsang kelenjar adrenal oleh kelenjar pituitari. Sekresi hormon adrenalin dan norepinefrin itulah yang bekerja untuk menentukan respons tubuh terhadap rangsangan untuk melakukan konfrontasi atau malah melarikan diri.
Rasa takut umumnya mengakibatkan percepatan detak jantung, rasa pusing, kelelahan, kehilangan nafsu makan, ketegangan, dan peningkatan keringat, terutama di telapak tangan.
Terdapat dua jenis rasa takut; kosmologis dan teologis
- Rasa takut kosmologis berorientasi pada akibat. Takut pada makhluk merupakan situasi psikis yang terkait dengan hilangnya kesempatan untuk bertahan hidup.
Sebagian besar orang, lantaran tak punya kesadaran logis tentang kemendasaran eksistensi dan prinsip kausalitas sekaligus tak mampu membedakan kualitas eksistensi “theos” sebagai sebab dan kosmos sebagai akibat, hanya memahami satu jenis rasa takut, yaitu rasa takut kosmologis dengan segala varian dan levelnya.
Rasa takut kosmologis sendiri punya dua kategori;
– Takut yang negatif. Rasa takut ini menghambat kemajuan individu, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam relasi sosialnya, bahkan pada tingkat praktis.
Ketakutan yang negatif ini juga memiliki dua sub-kategori; 1. Ketakutan epistemologis akibat hilangnya kesadaran rasional yang meredupkan fokus dan mengaburkan relasi kausal yang membuahkan tindak antisipatif dan preventif yang keliru. Biang keladinya tak lain dari ketidaktahuan atau kebodohan; 2. Ketakutan patologis akibat trauma atau faktor psikis lainnya yang memerlukan terapi dan pengobatan.
-Rasa takut yang positif berbasis akal sehat yang mendorong upaya menguak relasi kausal demi mengonstruksi pikiran logis sebagai bekal bertindak antisipatif dan preventif yang tepat dan terukur. Sumbernya apalagi kalau bukan pengetahuan.
Selayaknya kita merasa takut di bawah terang logika agar tetap waras dan berupaya mengumpulkan data valid yang aksiomatis dan punya referensi yang kredibel. Dengan bekal semua itu, tinggalah kita mengikuti arahan pihak yang berkompeten dan otoritatif agar kita dapat mempertahankan hidup yang aman, sehat, dan tenang.
Takut kosmologis negatif yang lebih tepat disebut cemas harus dilawan dengan akal sehat.
Bila merasa sehat, itulah anugerah yang harus dinikmati. Abaikan apapun yang menimbulkan kecemasan dan pertahankan mindset sehat dan bahagia dengan tetap waspada secara proporsional.
Bila kondisi kesehatan tidak prima tanpa gejala-gejala khusus sebagaimana kita ketahui bersama, mungkin itu adalah reaksi psikosomatik tubuh terhadap situasi mencekam saat ini. Tak semua demam diakibatkan oleh Covid 19. Tetaplah tenang dan waspada.
Banyak info (tulisan, berita, video dll) yang seolah mendorong kita cemas menduga-duga kemungkinan terinfeksi meski tubuh terasa bugar. Inilah virus baru. Karena bisa menular lewat udara (wifi, kabel, viber optic), dia lebih ganas dari Corona. Virus ini memerlukan inang kecemasan untuk berinkubasi.
Bila cemas karena terpengaruh tulisan-tulisan itu, yang tak terinfeksi bisa terifeksi karena imunitas tubuhnya melemah, dan yang sudah terinfeksi makin melemah karena kecemasan menurunkan imunitasnya terhadap virus itu dan kesembuhannya makin sulit.
Tinggal dalam rumah berarti memutus rantai penularan. Carilah kesibukan baru atau cobalah membahas virus dari sudut lain, humor misalnya. I
- Rasa takut teologis berorientasi pada Kausa Prima. Takut pada Tuhan merupakan situasi mental. Khusunya, rasa takut akan kehilangan cinta Tuhan.
Dalam al-Quran, maktub tiga kata yang dihubungkan dengan Allah dan maknanya kerap dianggap sebangun dengan takut oleh sebagai orang, yaitu taqwa, khauf, dan khasy’yah. Padahal, masing-masing istilah itu mengandung pengertian yang berlainan.
Ketakwaan menjadikan murka dan hukuman Tuhan yang Maha Esa sebagai wiqayah (وقاية) atau dengan mematuhi perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Adapun takut (خوف) kepada Allah Swt adalah kekaguman pada-Nya, merasakan kebesaran-Nya, dan berdiri di hadapan-Nya, dan bahwa Dia mengetahui rahasia setiap hambaNya. Sedangkan khasy’yah (خشية) adalah bagian dari rasa takut, namun lebih spesifik lagi, karena meliputi keterpesonaan sekaligus rasa takut akan hal itu dengan diiringi hati yang hancur karenanya. Sebab itu, dikatakan bahwa realitasnya hanya dapat ditemukan oleh kalangan yang memiliki pengetahuan (makrifah) terhadap apa yang ditakuti.
Tuhan ditakuti (mestinya) karena dicintai. Penyakit dan hal-hal buruk lainnya ditakuti demi dihindari lantaran dibenci. Benar-benar kasihan, sebagian orang relijius yang sebenarnya tak mengenal Tuhan dan kosmos, malah mencemooh rasa takut pada virus corona akibat mengira ketakutan pada kosmos sama belaka dengan takut pada Tuhan. Relijius nirlogika semacam itu pada hakikatnya adalah ketidak-bertuhanan (atheisme implisit).
Takut positif dan teologis punya pasangan positif pula, yaitu pengharapan (رجاء).
Rasa takut merupakan ekspresi kesadaran akan penghambaan di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Adil. Pengharapan juga merupakan ekspresi kesadaran akan kehambaan di hadapan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah.
Secara sederhana, rasa takut dapat diklasifikasi dalam tiga dimensi; “takut kepada” berupa rasa takut terhadap ancaman objek berupa benda, hewan, atau manusia lain; “takut dari” berupa rasa tak aman atau trauma sebagai efek dari suatu peristiwa natural atau sosial; serta “takut karena” berupa rasa takut dikarenakan alasan tertentu, seperti rasa bersalah dan lain-lain.
Yang lebih berbahaya dari yang kamu takutkan adalah ketakutan itu sendiri. (Imam Ali bin Abi Thalib)