Skip to main content

Tambang Indonesia Berpotensi Dijarah

By February 9, 2009One Comment

Perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) antara Asean dengan Australia dan Selandia Baru akan menimbulkan potensi penjarahan sumber alam Indonesia, terutama pertambangan mineral dan batubara.

“Hal itu dikarenakan sektor investasi juga diatur dalam perjanjian ini, tidak hanya perdagangan barang dan jasa, bahkan kekayaan intelektual juga diatur,” kata peneliti Institue for Global Justice (IGJ) Ponny Anggoro dalam diskusi di Galeri Publik IGJ di Jakarta, Senin, 9 Februari 2009.

Perjanjian ini, kata Ponny, akan menghadirkan lebih dari 400 perusahaan Australia/Selandia Baru, terutama di sektor pertambangan dan pembangunan infrastruktur. “Yang mengkhawatirkan, perjanjian ini akan mendorong kedua negara tersebut dengan leluasa menjarah sumber alam Indonesia karena mereka sangat dominan kepentingannya dalam usaha pertambangan mineral dan batubara,” ujarnya.

Selain itu, perjanjian ini juga dinilai terlalu berpihak pada kepentingan investor. “Dalam perjanjian disepakati prinsip pre-establishment, provisi atas perlindungan investor, dan penyelesaian sengketa investor dengan negara,” kata Ponny. Prinsip pre-establishment mengatur potensi kerugian sebelum investasi. “Jadi, jika investasi dibatalkan maka investor dapat memperoleh ganti rugi dari negara,” ujarnya.

Ponny mengatakan beberapa isu yang masih menjadi sengketa dan perdebatan di forum multilateral WTO akan dengan mudah dilangkahi dan dipotong (by pass) oleh perjanjian ini. “Ini adalah pra kondisi bagi dikalahkannya posisi perundingan negara-negara berkembang di Asean, seperti Indonesi,” kata dia. Beberapa isu penting di forum WTO yang sedang macet pembahasan salah satunya Singapore issues yang mencakup sektor investasi, pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan kebijakan kompetisi.

Sedangkan dalam sektor jasa, IGJ mensinyalir Australia dan Selandia Baru akan membuat komitmen yang melebihi dari aturan WTO, sama halnya seperti perjanjian Singapura dan Selandia Baru. “Ini akan mendorong liberalisasi jasa yang lebih tinggi dari kesepakatan WTO,” kata Ponny. (VIVAnews)