TANTANGAN KERJA KOLEKTIF KOMUNITAS SYIAH

TANTANGAN KERJA KOLEKTIF KOMUNITAS SYIAH
Photo by Unsplash.com

Di tengah umat Muslim Syiah, pernah mencuat dua kelompok yang tampak berseberangan di masa awal ghaibah kubra Imam Mahdi as. Kelompok pertama disebut akhbariyun yang didominasi para ulama perawi hadits dan teolog. Kelompok kedua disebut usuhuliyun yang dihuni para fuqaha.

Kaum akhbari menjadikan teks ayat dan riwayat secara denotatif atau literal sebagai sumber eksklusif hukum. Disebutkan oleh para sejarahwan, akhbariyah sebagai wacana keagamaan diprakrasi oleh Mirza Istarabadi pada permulaan abad ke-11 dan resmi menjadi subkelompok Syiah Imamiyah. Ada banyak nama cemerlang yang mengisi daftar para pendukung Akhbariyah. Di antaranya al-Faydh al-Kasyani, al-Hurr al-Amili, dan al-Bahrani.

Sedangkan kaum ushuli mengusung metode spekulasi rasional dan konvensional sebagai metode formal dalam penyimpulan hukum dari sumber kanonik Islam, al-Quran dan Sunnah. Pada faktanya, ushuli lambat laun menjadi pandangan mainstream karena lebih relevan, rasional, dan kontekstual.

Khazanah fikih kontemporer yang melahirkan struktur dan hirarki keulamaan di tubuh umat Muslim Syiah dewasa ini merupakan produk pemikiran ushuli. Selama beberapa fase dalam sejarah, polemik intelektual di antara kedua akademi pemikiran ini masih terjadi hingga periode kemarja'an faqih terkemuka, Abul Qasim Khui.

Berkat kritik dan bantahan-bantahan yang dikemukakan oleh al-Khui dalam beragam karya dan transkrip kuliah level atas yang disampaikannya, dapat dikatakan bahwa akhbarisme sebagai entitas komunal berakhir, kecuali menyisakan beberapa kelompok kecil, seperti Syaikhiyah di Basrah.

Inilah sekelumit fenomena akhbariyah dan akhbariyun yang sempat hadir dalam sejarah umat Muslim Syiah.

Sejak runtuhnya monarki Pahlevi dan berdirinya Republik Islam Iran serta terbukanya akses informasi seluas-luasnya, mazhab keislaman Syiah mulai keluar dari teritori klasiknya di sejumlah negara di Timur Tengah dan beberapa kawasan di Asia Tengah. Mazhab ini lalu merembesi seluruh penjuru dunia, terutama dunia Islam, termasuk Indonesia.

Kendati dipaksa menghadapi aneka penentangan dan persekusi massif oleh kaum intoleran yang bertendensi sektarianisme, juga kecurigaan beraroma politik kekuasaan rezim Orde Baru di masa awal Revolusi Islam di Iran yang mengglobalkan nama Imam Khomaini, isu kesyiahan baik sebagai mazhab formal maupun sebagai khazanah filsafat dan teologi secara nyata mempengaruhi sebagian generasi muda. Terlebih para aktivis dan penggemar wacana keislaman modern.

Seiring perjalanan waktu, perbincangan seputar pemikiran Syiah dan tokoh-tokohnya di pelbagai forum akademik dan sosial kian meluas. Kondisi ini semakin kondusif berkat sikap toleran para tokoh umat Islam, terutama NU dan Muhammadiyah juga HMI. Akibat darinya, beberapa individu pun dikenal sebagai penganut Islam Syiah atau setidaknya menyatakan konvesi ke mazhab Syiah. Akhirnya, terbentuklah secara alamiah, kelompok-kelompok kecil penganut Islam Syiah yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia.

Konversi secara natural (yang sebagiannya semata-mata terjadi akibat euforia, bukan keputusan rasional yang mendalam), meski positif dari satu sisi, menyisakan sejumlah problamatika intelektual yang diakibatkan masih membekasnya sedimen mindset mazhab yang dianut sebelumnya. Dus, tidak tersedianya sumber otoritatif dalam pembentukan sistematika pemikiran mazhab yang terbilang komprehensif dan definitif.

Salah satu problematika sekaligus tantangan internal terberat adalah pola pemahaman eklektik tak terstruktur yang mengabaikan asas kompetensi dan pakem otoritas dalam merujuk sumber-sumber utama, Al-Quran dan Sunnah. Inilah akhbarisme implisit.

Disebut akhbarisme implisit karena sebagian oknum itu mengaku bertaqlid, bahkan mengklaim sebagai pengiman Wilayatul Faqih. Namun sikap dan pola interaksi beberapa individu Muslim Syiah dengan sesama dan masyarakat umum mengindikasikan deviasi yang memerlukan edukasi sistemik dan efektif dalam kerja kolektif dan institusional.

Alhamdulillah, kendati harus menghadapi segunung persoalan dan tantangan internal juga eksternal, usaha luhur perapian dan konsolidasi sejumlah individu terdidik yang tulus itu mulai memperlihatkan hasil yang signifikan dan optimistik sebagai tahap awal.

Namun, tak ada tindakan positif yang tidak menghadapi penentangan sesuai hukum dialektika nilai. Segala upaya konsolidasi dan sistematisasi bangunan pemikiran yang mengacu pada otoritas keagamaan yang telah dibakukan kaum Ushuliyun dalam hirarki taklif ini tak hanya menghadapi kritik konstruktif sebagai bukti partisipasi positif, namun juga menghadapi riak-riak kecil penolakan tendensius yang kerap kali dijustifikasi dengan kutipan teks dan pemahaman tuna konteks kekinian dan kesinian.

Salah satu indikasinya adalah inkonsistensi. Karena tujuan utama penolakan ini adalah menggagalkan kerja kolektif yang bervisi, maka akhbari implsit ini tak jarang membawa-bawa jargon ortodoksi dalam pemahaman terhadap teks. Dus, menepuk dada sebagai pengiman puritan terhadap isu-isu sensitif, dan kadang ikut meneriakkan Wilayatul Faqih yang justru menganjurkan para pengikutnya mengenyampingkan ortodoksi historis demi kemaslahatan. Bahkan di saat tak tersedia bekal membantah di ruang publik, mereka suka melontarkan cemooh ala Syiah London kepada komunitas terstruktur yang sedang berjuang merentangkan jalan rekonsiliasi dengan Umat Islam Ahlussunnah di Indonesia. Ajaibnya, tak ada rasa risih dalam mengemukakan pandangan-pandangan yang saling menafikan. Pasalnya, tujuan tunggalnya adalah memassifkan pembusukan semata.

Syukurlah, celoteh-celoteh itu hanya menyembur di luar dinding komunitas yang telah terbangun dan senantiasa menguat dengan kerja-kerja nyata bagi komunitas Syiah, umat Islam, dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Read more