Seruan Tauhid yang esensinya adalah ajakan menolak kuasa manusia atau penuhanan para pemilik modal, para tuan tanah, penguasa klan, para raja dan bromocorah penjaran harta publik, telah diambil alih menjadi doktrin pemujaan kepada tuhan-tuhan bertulang yang perlahan justru disepakati sebagai para pemuka agama dan pemberlaku hukum agama yang tidak berlaku atas mereka.
Agama yang semula diperkenalkan sebagai ajaran kesetaraan justru ditampillkan sebagai ajaran yang mengafirmasi pemujaan. Tradisi biadab perbudakan yang telah dihapus secara bertahap oleh agama justru dihidupkan kembali dalam doktrin pemujaan dan kepatuhan tanpa asas kompetensi dan standar moralitas, berupa pemberian hak istimewa dan kuasa kepada sekelompok orang hanya karena klaim keunggulan garis keturunan demi mengalihkan umat dari otoritas sejati yang hanya mengakui keunggulan spiritual, moral dan intelektual di tengah dan demi mempertahankan dominasi dan penguasaan umat modal.
Pemujaan, pendewaan atau kultus pun secara fenomenologis menjadi salah satu ciri khas masyarakat beragama dan yang dilukiskan sebagai doktrin fatalis keputusan absolut Tuhan tentang keunggulan ras, tanah, modal dan kuasa sebagai pengganti parameter kemuliaan atas ketakwaan dan kebajikan.
Pemujaan adalah perbuatan negatif yang merusak jiwa dan meliburkan akal pihak yang dipuja dan yang memuja. Pemuja dan yang dipuja yang hidup dalam masyarakat yang telah telah dijejali doktrin irrasional secara kultural dan spiritual dapat dianggap sebagai korban. Keduanya adalah produk pembodohan atau konspirasi pengaburan agama yang mestinya diterima dan dianut justru karena membebaskan setiap individu manusia dari perbudakan dan kuasa palsu antar sesama manusia yang diciptakan setara.
Sebenarnya sejak lama sepak terjang negatif beberapa figur yang dikenal habib secara khusus karena identitas etniknya yang khas dan kyai atau ustadz dan ulama secara umum telah lama mengundang kekesalan lapisan kritis masyarakat dalam skala yang berbeda-beda terutama di pedesan. Secara umum, sebagian kelompok masyarakat yang mulai menemukan kejangggalan dan paradoks epistemologis dalam sejumlah doktrin yang terasa tak masuk akal dan kontras dengan akal sehat ini.
Reaksi keras terhadap itu bisa dipahami sebagai hikmah yang bisa menyadarkan komunitas dzurriyah untuk bertansformasi sebagai komunitas modern dengan pandangan dan sikap yang logis dannrelevan demi membuktian kehadiran kontributitif sebagai elrmen integral umat dan bangsa dalam frame Pancasila dan UUD.
Tragisnya, setiap pandangan rasional tentang otoritas transenden yang terbatas dengan kesucian sebagai pemuncak ketakwaan yang berpotensi menyadarkan masyarakat relijius tentang makna kedaulatan individual dan resistensi terhadap hegemoni, malah ditentang dan dibenci karena terlanjur dicecoki dengan stigma sesat, kafir dan lainnya.