"Telivisi Banci"

"Telivisi Banci"
Photo by Unsplash.com

Perhatikan alis rapi yang memagari matanya, maskara yang melentikkan bulu matanya, dan sapuan eye shadow mempercerah matanya. Rona merah pipinya oleh blush on, dan gerak tubuhnya kontras dengan tubuh tegap, dada bidang, dan sosok tinggi-besarnya. Berbalut blus putih bercorak merah mengkilap, dengan gemulai ia menukas centil, "Jangan gila, dong...." Yang rajin mengikuti acara-acara seputar "manaqib" artis Indonesia pasti bisa menebaknya.

Ada pula si kremepeng yang tangannya tidak bisa diem, selalu bergerak dengan genitnya mana kala bergurau dengan teman perempuan di sela-sela acara info-tainment. Mulutnya dimoncogkan sedemikian rupa agar terlihat ‘seksi’ iiiiiiiiiiih.

Ada pula yang kadang berperan sebagai pembawa acara agama lengkap dengan baju koko dan kopiyah, tapi di hari yang sama tampil kemayu di acara lain.

Ada yang berlagak ‘latah’ dan suka keceplosan menyebut hal-hal yang tabu dengan mimik banci, tentunya. Pokoknya, banci beneran dan banci buatan menguasai telivisi negara yang lagi babak belur oleh meroketnya harga minyak dunia ini.

Dalam beberapa tahun ini, tayangan di televisi banyak sekali di dominasi oleh perilaku pria yang kemayu atau menyerupai polah tingkah perempuan. Dan celakanya tidak hanya beberapa acara di beberapa stasuin televisi saja, tapi hampir ke semua acara dan pada semua stasiun.

Pria yang kemayu menjadi komoditas hiburan yang mulai diterima dan diamini sebagai salah satu pilihan hiburan yang menyenangkan sekaligus lucu yang kemudian berbondong-bondong stasuin televisi mengangkatnya dalam berbagai acara mulai dari infotainment sampai komedi.

“Itu keinginan pasar,” seloroh hampir semua yang cari makan di dunia media. Pasar dalam konteks ini berarti pemirsa. Pemirsa berarti masayarakat. Artinya, masyarakat kita memang suka yang beginian. Konon, cewek sekarang lebih suka lelaki rada gemulai karena pasti tidak kasar dan penuh kasih sayang meski tidak sepenuhnya bersjiwa 'pelindung'.

Tentu, tulisan ini tidak untuk mendiskreditkan banci apalagi merendahkannya. Malah, bila diamati lebih jauh, menampilkan banci sebagai pemikat (pemancing tawa) bisa dianggap sebagai sikap merendahkan banci.

Read more