Jika ada yang meragukan inovasi air laut menjadi bahan bakar alias blue energy temuan Joko Suprapto, Eko Aji adalah salah satunya. Keraguan ini muncul setelah dia berdiskusi dengan tim blue energy dalam ajang Konferensi Internasional Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 lalu.
“Kalau ditanya lebih dalam seperti tidak terbuka, ada semacam ada kebohongan,” kata Eko Aji yang menjabat sebagai Lead Consultant UNDP dan BPPT saat berbincang dengan detikcom lewat telepon, Senin (26/5/2008).
Eko bersama tim dari BPPT mengaku menyambangi booth tim blue energy sebanyak 2 kali. Dan sesuai logika berpikir peneliti jelas-jelas air laut tanpa proses tertentu tidak mungkin menjadi bensin.
“Jadi mereka mengaku air laut itu dicampur dengan senyawa tertentu, lalu berubah menjadi bensin. Tapi mereka tidak mau menjelaskan bagaimana prosesnya. Dan yang kita lihat hanya hasil akhir yaitu bensin atau solar yang dimasukkan ke mobil. Dan itu tidak pakai alat lagi,” jelasnya.
Eko menjelaskan sesuai teori, air laut dan bensin yang berasal dari fosil memiliki senyawa berbeda. “Ini bagaimana caranya, ada senyawa kimia berbeda. Di energi fosil ikatan karbon itu ikatan C, jadi kalau di air atau H, dapat unsur C-nya dari mana. Itu kan H20, itu air laut. Bayangkan air jadi BBM, ini tidak logis,” jelasnya.
Eko lalu bercerita, saat berbincang dengan anggota tim blue energy mereka membanggakan hasil temuan itu. Bahkan bila diproduksi massal harga jualnya hanya mencapai Rp 3 ribu, anehnya mereka tidak mau mempatenkan temuannya ini.
“Mereka mengaku memproses air laut menjadi bahan bakar tidak pakai alat, hanya dicampur senyawa tertentu. Ada spesial khusus, tapi mereka tidak mau memberi tahu,” kata Eko yang tengah meneliti Micro Turbin Cogeneration ini.
Tim blue energy sempat berjanji akan memberi sampel untuk diuji di laboratorium Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) di Serpong. “Kami undang untuk diskusi, juga dibantu untuk sertifikasi, tapi tidak pernah datang,” ujarnya.
Menurut Eko, sebagai perbandingan, proses sintesa bahan bakar biofuel saja sangat mahal, sehingga bila air laut hanya dicampur saja dengan senyawa tertentu — tanpa butuh alat — kemudian jadi bahan bakar sangat tidak rasional.
“Ada gambar-gambar, memang mereka tunjukkan. Tapi tetap saja tidak masuk akal. Jadi seperti berbicara di dunia klenik. Ya saya kasihan saja proyek ini sampai ke ring 1,” tutup Eko. (detikcom)