Skip to main content

“Teologi Horor” (Pengantar buku “CUCI OTAK NII, Tinta Publisher)

By April 27, 20115 Comments

Maraknya berita kekerasan di media mulai dari bentrok antar geng, antar kampung, antar pendukung cabub, tawuran antar mahasiswa dan antar pelajar, teror bom, penyerbuan kelompok minoritas agama maupun intra agama dengan dalil “aliran sesat’ , dan yang terbaru, aksi penyekapan, perampokan dan cuci otak yang dialamatkan kepada Gerakan NII, telah membenamkan kita dalam kebimbangan tentang masa depan bangsa ini. Terlalu bias dan membingungkan untuk ditolak maupun diterima. Opini, rekayasa, dan fakta berbaur menjadi adonan yang tidak nyaman dikunyah.

 

Pola keberagamaan yang bagaimanakah yang bisa meredam potensi konflik dari penghayatan kita terhadap agama itu sendiri? Dan, bagaimanakah cara kita memupuk keyakinan bahwa agama adalah sumber segala nilai dan sesuatu yang selalu dibutuhkan manusia? Perlukah kita menengok kembali ideologi-ideologi tertentu yang jelas-jelas gagal mengantar manusia untuk menemukan The Great Chain Being (Hossein Nasr), padahal, menurut Nasr, ideologi-ideologi semacam komunisme atau saintisme hanya mampu mengantarkan manusia untuk menemukan setengahnya saja dari gambaran dunia?

 

Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan, lebih-lebih akhir-akhir ini. Sinyalemen ini disanggah melalui pernyataan apologetis (membela diri), yakni agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan; tetapi manusia menyalahgunakan untuk kepentingan pribadi/kelompok sehingga menyulut kekerasan. Padahal, agama baru menjadi konkret sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? Orang skeptis terhadap jawaban yang membela diri itu. Orang menyaksikan bahwa agama sering digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi kekerasan. Oleh karena itu sulit menjawab pertanyaan, bagaimana agama bisa menjadi dasar suatu etika untuk mengatasi kekerasan. Mungkin, upaya transparansi dalam hubungan antar-agama bisa membantu memberi landasan etika semacam itu.

 

Dalam negara dimana kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur dan melembaga sebagai kekuasaan tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama antara mereka yang memiliki akses ke kekuasaan dengan mereka yang tidak, tentunya mereka yang meraup keuntungan, baik itu kemenangan politik maupun finansial, yang berupaya keras agar tidak terjadi perubahan berarti. Ketimpangan yang merajalela dalam hal sumber daya, pendapatan, kepandaian, pendidikan, serta wewenang untuk mengambil keputusan mengenai distribusi sumber daya hendak terus dipertahankan. Selagi kekuasaan untuk memutuskan hanya dimonopoli oleh sekelompok orang saja, mereka berupaya untuk mempertahankan status quo itu sedapat mungkin. Ideologi dan subyektifitas seringkali menjadi alasan pembenaran atau justifikasi legitimasi untuk menindak keras pihak yang ingin mengganggu dan mencoba mengutak-utik status quo. Orde keteraturan diterapkan dan disokong dari semua lini yang dimiliki negara, merangsek ke seluruh elemen kehidupan, memiliterisasi sipil sedemikian rupa sehingga korporatisme negara mengebiri masyarakat.

 

Dalam sejarah Islam kekerasan struktural (negara) terus terjadi sejak Nabi wafat mulai dari pembunuhan karakter para sahabat Nabi yang kritis, seperti pengasingan Abu Zar, pembantaian Malik bin Nuwairah at-Tamimi bersama warga sekampungnya dengan dalih “murtad karena tidak membayar zakat”, juga pembantaian paling biadab yang dialami Al-Husain dan para pengikutnya di Karbala hingga ekspansi-ekspansi militer  atas nama “penyebaran Islam” ke wilayah-wilayah Jazirah Arabiyah, seperti ke Persia dan Andalusia.

 

Sejarah mencatat betapa banyak darah dialirkan dalam proses itu. Anehnya, tidak sedikit orang yang membanggakan itu sebagai bagian dari sejarah kejayaan Islam. Para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas, yang korup, cabul dan rasis, malah sering dipuja sebagai ikon-ikon utama keagungan Islam.

 

Bila kita berani mengamati secara objektif sejarah mazhab-mazhab Islam, maka kita akan dengan mudah menemukan kekerasan telah dipatenkan sebagai bagian dari doktrin dan dianggap sebagai citra kesalehan dan relijiusitas. Kaum Khawarij yang dianut oleh para tekstualis dengan cirri-ciri fisik tertentu, seperti dahi hangus karena banyak bersujud, telah menjadi gerombolan paling bengis yang mencari pahala sorga dngan menggorok leher sesama Muslim. Pembunuhan Ali bin Abi Thalib dianggap sebagai prestasi kesalehan yang paling dibanggakan oleh mereka. Pembantaian para penganut Syiah dan  Mu’tazilah serta para sufi dan filosof Muslim juga yang dilakukan oleh para penguasa Islam terlalu benderang untuk ditutup-tutupi. Lahirnya konsep “taqiyah” tak dapat dipisahkan dari trauma sejarah yang kelam itu. Tidak hanya itu, buku-buku ulama mainstream menjadi tebal karena hanya berisikan hujatan dan vonis in absentia terhadap pandangan-pandangan Syiah, taswauf, filsafat dan Mu’tazilah. Umat Islam telah dijadikan sebagai keranjang yang tidak pernah mengenal etika “hak jawab”, “objetivitas”, “komparasi” dan “dialog”. Semuanya telah dikuduskan, dan karenanya, setiap upaya mengkritisinya dianggap sebagai kesesatan dengan beragam atribut, seperti “zindiq”, “rafidhah”, “bathiniyah” dan “pemuja akal”.

 

Di abad modern pun, kekerasan tidak makin lenyap, namun sebaliknya menjadi kian kuat. Berdirinya kerjaaan atas nama satu keluarga di Hijaz adalah bukti nyata akan lestarinya teologi kekerasan dalam umat Islam.

 

Teologi kekerasan yang dianut para teroris ini adalah teologi Wahhabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 14 M. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Syria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashra selama 4 tahun

 

Ketika pulang ke kampung halamannya ia menulis bukunya yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya,  Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn (para pengesa Tuhan). Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni

 

Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat  pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su’ûd, amir setempat  dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi  Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi qadi. Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.

 

Kini AS dan zionisme tanpa koordinasi dengan rezim Saud telah mengembangkan teologi horor sebagai kartu dan alat tekan melalui organisme baru dengan sistem dan jaringan yang mirip dengan CIA. Nama Alqaeda muncul sebagai kekuatan siluman tanpa batas negara. Ia menjadi cek kosong yang bisa diisi oleh siapapun dengan frase-frase agama yang mudah diasosiasikan dengan Islam. Kekuatannya membentang mulai dari Afrika hingga Asia, dengan ragama nama, seperti Taliban, Jamaat Islami, Jundullah, Anshar Tauhid, Sepah Sahabah. Prestasi-prestasi mereka tidak ditemukan di Gaza atau Palestina, tapi di masjid-masjid minoritas Syiah di Peshawar hampir setiap Jumat terutama di Muharram, di Irak dan seluruh dunia Islam.

 

 

Di Indonesia, kekerasan struktural atas nama agama yang dillakukan oleh kelompok-kelompok di Indonesia juga kian mencolok. Ada yang seenaknya melakukan razia dan ‘main hakim’ sendiri dengan dalih amar makruf dan nahi munkar. Ada yang melakukan kegiatan militer dengan mengirim pasukan berseragam ke wilayah-wilayah konflik SARA, seperti Maluku dan Poso dengan dalih berjihad. Ada yang gemar mengkafirkan dan menjatuhkan ‘fatwa mati’ atas setiap orang yang mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan pandangan keagamaannya. tentang agama Ada pula yang secara berencana melakukan provokasi untuk membumihanguskan pemukiman muslim, sekolah dan pemakaman minoritas, seperti yang terjadi di Pekalongan dan  Bangil.

 

Lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis yang cenederung menggunakan ‘kaca mata kuda’ dalam memahami teks agama semestinya harus disikapi secara tegas oleh negara, para pemuka agama, para intelektual dan bseluruh elemen masyarakat demi mengantisipasi terjadinya anarkisme dan chaos yang tak pelak akan membuat bangsa ini makin terpuruk.

Eskalasi kekerasan yang begitu tinggi dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya harus dilihat sebagai pelajaran berharga bagi masyarakat beragama, bahwa agama belum berfungsi secara maksimal untuk meredam kekerasan. Karena itu, kita, terutama para pemuka agama harus aktif mengangkat doktrin-doktrin sintesis yang menghendaki perdamaian. Memang, deskripsi keagamaan selama ini belum memberi perhatian serius pada “teologi perdamaian”.

 

Semua agama jelas-jelas menolak kekerasan secara definitif. Ia tidak pernah diterima sebagai prinsip bertindak. Kekerasan senantiasa amoral karena selalu mengandaikan pemaksaan kehendak, dan karenanya melanggar asas kebebasan dalam interaksi sosial. Padahal, manusia bebas secara moral. Ia punya kemampuan untuk bebas menentukan setiap pilihannya. Tapi, persoalan hubungan keduanya justru terletak pada pertimbangan-pertimbangan etiko-religius untuk mempraktikkan kekerasan. Ironisnya, dalam perspektif itu, kekerasan tak lagi dinamai kekerasan melainkan jihad, atau amar makruf dan nahi mungkar, dan sejenisnya. Hal ini makin rumit jika ia dipraktikkan dengan legitimasi etiko-religius, atau sekedar dengan label agama demi ambisi-ambisi non-religius.

 

Bila kekerasan struktural yg membawa jargon agama tidak ditentang secara masif, maka kita akan memasuki babak kehidupan yang sangat mencekam. Indonesia yg kaya krn heterogenitas akan jadi “negeri horor”. Gerombolan2 berjubah dg palu vonis “sesat” gentayangan dimana2.Mimbar-mimbar jadi pusat komando pembantaian. Kaum minoritas jadi sasaran adu ketangkasan membabat atas nama jihad dan amar ma’ruf.

Bayangkan bila negoisasi digusur oleh konfrontasi, wacana diganti teror, dan dialog dengan fatwa mati!