TEOLOGI KEBENCIAN

TEOLOGI KEBENCIAN
Photo by Unsplash.com

TEOLOGI KEBENCIAN

Dulu saat masih remaja saya (dan mungkin sebagian besar kita) dijejali dengan doktrin kebencian terhadap agama lain, terutama Kristen.

Kalau melintasi gereja dan melihat orang-orang menghadiri upacara misa di dalamnya, dada kita terasa mangkel menahan gejolak benci, dendam dan kehendak untuk menyerang.

Salah satu doktrin yang hingga sekarang masih membekas adalah anggapan-anggapan minor tentang otontetisitas Injil, yang dianggap telah dimanipulasi isi dan penafsirannya oleh para pemuka Kristen. Karenanya, di mata saya saat itu, bila kitab sucinya sudah dipalsukan, maka semua sumpah serapah menjadi semacam “ibadah”.

Singkatnya, kami dipaksa memantapkan keyakinan keislaman kami tidak melalui penguatan argumen, namun melalui pengelolaan benci terhadap agama lain.

Akibatnya, kami tidak “sempat” bersikap kritis terhadap doktrin yang ditatanamkan para ustadz saat mengaji dan para khotib saat menghadiri shalat Jumat di masjid. Kami, generasi muda santri saat itu, dijejali juga dengan doktrin larangan bersikap kritis apalagi mempertanyakan doktrin yang dijejalkan muallim dengan warning “ilmu tak bermanfaat” atau mengalami kesengsaraan, dan last but not least, sikap itu dianggap sebagai kekuranganajaran, dan bahkan sebagai sikap yang menjurus kepada kekufuran dan kemurtadan.

[ads1]

Jadilah kami generasi yang konsisten merawat “kebencian teologis” karena bagi kami itu adalah bukti kecintaan, indikasi kepatuhan dan kesalehan. Saking kuatnya pengaruh doktrin itu, kami tak hanya mendistribusikan benci terhadap agama lain. Kami bahkan, saking bersemangatnya “melindungi agama” kami dengan memperluas makna “musuh”, “kafir”, “musyrik” dan frase-frase kebencian dengan memasukkan setiap Muslim yang berbeda pandangan dengan kami.

Hari-hari yang kami lewati adalah sejarah minus keragaman, toleransi. Kami terbiasa bangga dengan kehebatan agama dan aliran “benar” kami tanpa perlu mengukur dan mengujinya melalui analisis, apalagi dengan diskusi dan dialog dengan pihak lain, karena sesama Muslim yang berbeda aliran bahkan ormas dianggap sesat, bidah dan syirik, sedangkan yang di luar agama kami sudah dipastikan sebagai penghuni neraka, najis dan bahkan dalam situasi tertentu bias dianggap binatang dan layak dimusnahkan.

Ternyata dunia tidak konsisten. Peristiwa-peristiwa menampilkan dialetikanya. Kebencian-kebencian itu malah menimbulkan aneka penyakit mental dan psikis yang menghambat kemajuan dan menodai citra para penganutnya. Ia tidak menuai simpati apalagi cinta. Kebencian hanya mengundang kebencian. Sejarah bangsa ini dan bangsa-bangsa lain didominasi oleh kisah-kisah tragis yang merugikan dan meredupkan pesona agama.

[ads1]

Mata dan nalar kita melek dan menemukan bahwa Islam rasa kekerasan adalah bikinan rezim tribal Saud yang sengaja melaksanakan agenda imperialiatik dengan menyebarkan “teologi benci” intra umat Islam demi mengalihkan perhatian umat dari pengkhianatan mereka membiarkan Palestina menjadi tanah rampasan Israel dan menggantinya dengan Iran sebagai musuh bersama melalui propaganda masif.

Teologi horor ini mulai berkembang dalam bentuknya yang tidak kalah mengerikan. Dengan sokongan dana dan doktrin cuci otak yang memakzulkan nalar sehat dan nilai kemanusiaan yang meniscyaan toleransi dan empati, mereka mengkampanyekan pensesatan, pengkafiran dan pembinatangan sesama Muslim sebagai legitimasi segala jenis intimidasi, teror dan pemusnahan.

Kini wajah penuh borok pengkhianatan dan kedok kepalsuan itu tersingkap saat seluruh negara Islam dan bangsa-bangsa cinta keadilan di Amerika Latin serempak menolak keputusan Donald Trump mengakui Jerussalem sebagai ibukota rezim rasis Israel. Sementara rezim penjajah Yaman ini mendukung keputusan Trump dengan menyarakan kota kecil Abu Dis sebagai ibukota Palestina.

Read more